Akhirnya kesempatan itu datang juga, segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat usia dan kesehatan yang akhirnya bisa membawaku pada propinsi sumatera selatan. Tepatnya di Ibukota Sumatera Selatan, Palembang. Sebuah kota yang terkenal dengan bekas kerajaan sriwijaya dan sangat familiar dengan empek-empeknya. Menurut sejarah, Palembang berasal dari kata Pa dan Limbang, yang masing-masing memiliki arti tempat dan tempat melimbang/memisahkan sesuatu. Palembang dulu terkenal dengan tempat mendulang emasnya. Berdasarkan prasasti kedudukan Bukit diketahui Sriwijaya berdiri pada 17 Juni 683 M, oleh karena itu tanggal 17 Juni ditetapkan sebagai jadi kota Palembang.
Aku datang ke Palembang dalam rangka tugas kantor, itung-itung sambil menyelam minum air, sambil kerja sambil travelling, he..he..he…soalnya kapan lagi bisa jalan-jalan gratis kalau tidak seperti ini. Yang penting kerja tetap prioritaslah. Menginap di Hotel dekat dengan kantor Gubernur Sumatera Selatan, sehingga akses ke Kota Sangat mudah. Dengan aktivitas yang lebih banyak ke luar kota yang memakan perjalanan darat 3-4 jam, dimana perjalananya agak menguras tenaga menyebabkan aktivitas jalan-jalan belum maksimal dilakukan. Sampai hotel aku langsung tewas karena kecapekan. Sampai-sampai jembatan amperapun pun belum kesampean dikunjungi. Kata orang, belum ke Palembang kalau belum ke Ampera, bener juga ya, soalnya ikon Palembang selain empek-empek ya Ampera itu. Fiuhhh.
Orang Palembang menyebut dirinya Wong Kito, yang artinya orang kita. Mayoritas muslim melayu, jawa dan china. Orang asli Palembang banyak yang fisiknya kayak orang cina yang sipit dan berkulit kuning. Di Hotel tempatku menginap, ketika berenang di Pagi Hari aku serasa berenang Di Goung Zhou Cina. Kebayang, satu kolam renang Cuma aku yang kulitnya coklat, yang lain kuning dan sipit khas orang China. Dengan conversation yang digunakan bahasa yang nggak ngerti aku babar blass, Nampak banget kalau aku produk lokal. Aku merasa bagai itik di tengah-tengah angsa yang sedang berenang. But, kalau dibilang eksotis, aku lah yang paling eksotis he..he..he..
Bicara Palembang, tidak lengkap tanpa empek-empek. Sampai-sampai hampir setiap orang yang tahu aku hendak ke Palembang pasti tidak akan tidak ngomong “Oleh-oleh ya empek-empeknya…” kalau di list mengkin satu halaman folio yang mau nitip empek-mepek (lebayy dikit), soalnya saking banyaknya. Sampai-sampai bela-belain telpon kau tengah malam pas aku lagi tidur di Hotel Cuma untuk nitip empek-empek, duh kebangetan. Emang pikirnya aku agen wisata yang jual empek-empek.
Mumpung di Palembang, kesempatan nih buat makan empek-empek sepuas-puasnya, kebayang nggak 2 piring penuh empek-empek aku telan bullet-bulet, ogah rugi pikirku, sudah beli 2 piring tapi nggak dimakan, usut punya usut empek-empeknya dihitung ber biji, so kalau nggak dimakan ya nggak dibayar, nah lo gara-gara ogah rugi, perut jadi tambah buncit. Nggak lagi-lagi deh, janji!
Selain empek-empek masih banyak ragam kuliner lainnya di Palembang, seperti kemplang, burgo, tekwan, dll. Aku hanya sebatas mencicipi empek-empek dan es kacang serta pindang ikan patin. Lumayanlah, bisa makan empek-empek asli dari kota asalnya. Ternyata empek-empek itu dibuat dari tapioka dengan campuran ikan, baru tahu aku kalau bahan dasarnya tapioca. Menurut sejarah yang aku baca di Website Wisata Palembang, Empek-empek berasal dari kata Apek yang berarti orang Cina yang Tua. Apek=Singkek??? Dimana konon yang pertama launching empek-empek ratusan tahun yang lalu, ceilee…launching, maksudnya jualan sambil keliling kota membawa sepeda adalah seorang cina yang tua, sejak itulah nama empek-empek begitu tersohor hingga kini.
Sedikit kisah di Bumi Sriwijaya, walaupun Cuma tiga hari aku bisa travelling hingga Prabumulih sampai Sekayu Banyuasin, surprisenya lagi di Prabumulih aku bisa ketemu dengan Seniorku dulu ketika kuliah di Semarang. Sekarang menjadi ketua Bidang di sana. Nggak nyangka ya kcenario Tuhan begitu dahsyat, seniorku yang asalnya dari Singkawang ternyata terlempar ke Prabumulih Sumatera Selatan. Kalau aku nanti akhirnya dimana ya? Hanya Tuhan yang tahu. Semoga apa yang telah kujalani bisa membawa hikmah bagi kehidupanku kini dan kelak.
Aku datang ke Palembang dalam rangka tugas kantor, itung-itung sambil menyelam minum air, sambil kerja sambil travelling, he..he..he…soalnya kapan lagi bisa jalan-jalan gratis kalau tidak seperti ini. Yang penting kerja tetap prioritaslah. Menginap di Hotel dekat dengan kantor Gubernur Sumatera Selatan, sehingga akses ke Kota Sangat mudah. Dengan aktivitas yang lebih banyak ke luar kota yang memakan perjalanan darat 3-4 jam, dimana perjalananya agak menguras tenaga menyebabkan aktivitas jalan-jalan belum maksimal dilakukan. Sampai hotel aku langsung tewas karena kecapekan. Sampai-sampai jembatan amperapun pun belum kesampean dikunjungi. Kata orang, belum ke Palembang kalau belum ke Ampera, bener juga ya, soalnya ikon Palembang selain empek-empek ya Ampera itu. Fiuhhh.
Orang Palembang menyebut dirinya Wong Kito, yang artinya orang kita. Mayoritas muslim melayu, jawa dan china. Orang asli Palembang banyak yang fisiknya kayak orang cina yang sipit dan berkulit kuning. Di Hotel tempatku menginap, ketika berenang di Pagi Hari aku serasa berenang Di Goung Zhou Cina. Kebayang, satu kolam renang Cuma aku yang kulitnya coklat, yang lain kuning dan sipit khas orang China. Dengan conversation yang digunakan bahasa yang nggak ngerti aku babar blass, Nampak banget kalau aku produk lokal. Aku merasa bagai itik di tengah-tengah angsa yang sedang berenang. But, kalau dibilang eksotis, aku lah yang paling eksotis he..he..he..
Bicara Palembang, tidak lengkap tanpa empek-empek. Sampai-sampai hampir setiap orang yang tahu aku hendak ke Palembang pasti tidak akan tidak ngomong “Oleh-oleh ya empek-empeknya…” kalau di list mengkin satu halaman folio yang mau nitip empek-mepek (lebayy dikit), soalnya saking banyaknya. Sampai-sampai bela-belain telpon kau tengah malam pas aku lagi tidur di Hotel Cuma untuk nitip empek-empek, duh kebangetan. Emang pikirnya aku agen wisata yang jual empek-empek.
Mumpung di Palembang, kesempatan nih buat makan empek-empek sepuas-puasnya, kebayang nggak 2 piring penuh empek-empek aku telan bullet-bulet, ogah rugi pikirku, sudah beli 2 piring tapi nggak dimakan, usut punya usut empek-empeknya dihitung ber biji, so kalau nggak dimakan ya nggak dibayar, nah lo gara-gara ogah rugi, perut jadi tambah buncit. Nggak lagi-lagi deh, janji!
Selain empek-empek masih banyak ragam kuliner lainnya di Palembang, seperti kemplang, burgo, tekwan, dll. Aku hanya sebatas mencicipi empek-empek dan es kacang serta pindang ikan patin. Lumayanlah, bisa makan empek-empek asli dari kota asalnya. Ternyata empek-empek itu dibuat dari tapioka dengan campuran ikan, baru tahu aku kalau bahan dasarnya tapioca. Menurut sejarah yang aku baca di Website Wisata Palembang, Empek-empek berasal dari kata Apek yang berarti orang Cina yang Tua. Apek=Singkek??? Dimana konon yang pertama launching empek-empek ratusan tahun yang lalu, ceilee…launching, maksudnya jualan sambil keliling kota membawa sepeda adalah seorang cina yang tua, sejak itulah nama empek-empek begitu tersohor hingga kini.
Sedikit kisah di Bumi Sriwijaya, walaupun Cuma tiga hari aku bisa travelling hingga Prabumulih sampai Sekayu Banyuasin, surprisenya lagi di Prabumulih aku bisa ketemu dengan Seniorku dulu ketika kuliah di Semarang. Sekarang menjadi ketua Bidang di sana. Nggak nyangka ya kcenario Tuhan begitu dahsyat, seniorku yang asalnya dari Singkawang ternyata terlempar ke Prabumulih Sumatera Selatan. Kalau aku nanti akhirnya dimana ya? Hanya Tuhan yang tahu. Semoga apa yang telah kujalani bisa membawa hikmah bagi kehidupanku kini dan kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar