Kamis, 30 September 2010

Aneka Makanan Tradisional


2 Hari yang lalu sempet aku ledek-ledekan via SMS dengan temanku mengenai jajanan tradisonal. Mengingat banyak orang jaman sekarang yang gengsinya tinggi ketika harus menyantap jajanan pasar, apalagi anak muda sekarang, sehingga jajanan pasar jadi turun pamor. Sebenarnya, jajanan pasar atau makanan tradisional tidak semuanya tidak enak rasanya. Banyak makanan tradisional yang terasa lezat di lidah mengalahi Bred Talk sekalipun. Karena gengsi-gengsian, maka makanan tradisonal tadi sering jadi bahan ledek-ledekan antara sobat karib yang sama-sama dari ndeso (biasanya karena sudah pada ngerti wujud makanannya). Dan sebenarnya, aku adalah salah satu makhluk yang sangat menyukai jajanan pasar, jajanan mantenan di kampung or jajanan ndeso dan sekelasnya. Karena sejak kecil sudah terbiasa dengan makanan yang sederhana dan sekarang mulai langka tersebut, membuat aku kadang rindu balik kampung hanya untuk menyantap yang namanya getuk warna coklat (nggak tahu namanya, yang ku tahu cuma getuk lindri doang yang berwarna-warni itu, kalau yang coklat nggak tahu namanya). Makanan tradisional kerap sekali nongol di mantenan di kampung. Lebih-lebih kalau hidangannya pakai sistem piring terbang. Biasanya dulu pas aku diajak Ibu jagong manten aku paling males menyentuhnya. Apalagi pas masih kecil, melihat jadah kayak nggak ada nafsu babar blas. Beranjak dewasa, baru aku bisa merasakan nikmatnya jadah. Apalagi pas anget, dibakar makan sama tempe dan karak. Mak Nyuss…
Buat temen-temen yang lahir dan besar di kote Jakarte, mungkin nggak biasa makan jajanan pasar. Biasa jalan di Mall dan disitu jarang dijual makanan kampung. So, aku punya list makanan tradisonal yang pernah mampir di mulutku dan masih terasa sampai sekarang enaknya, are you ready, here we go……jrengg…jrenngg…..duoorrr…….

Onde-Onde, Yang terkenal pada waktu kecil dulu adalah Onde-Ondenya Mbah Minil. Harganya 50 perak, isi kacang tolo. Murah dan enak kalau laper doang. Saking murahnya bisa buy one get one free lho…

Onde-Onde Cemplus, aku dan adikku yang menamai begitu, onde-onde keringlah, kecil-kecil dan atos/keras. Biasanya dijual Plastikan dan sudah dikemas.

Gandos, dari ketan dan berbalur gula pasir. Ada yang putih dan ada yang item, tergantung ketannya juga. Asli buatan Mbah Minil. 50 perak juga.

Gedhang goreng. Umum banget dimana-mana ada. Paling enak gedhang kepok atau raja.

Pia-pia, alias bakwan, alias ote-ote (Surabaya), alias Heci, alias Pizza ndeso. Paling enak dimakan sama pecel. 25 perak jaman dulu bisa dapet pecel pia-pia pincuk. Lezat.

Tahu susur. Tahu dengan isi sayuran, Cuma 50 perak. 3 tahunan yang lalu masih ada yang harganya 100 perak per piece di Pasar desaku. Amit-amit, ramban (metik di kebun sendiri) kali sayurannya, jatuhnya murah cing!

Gethuk. Bukan Gethuk Trio lho, kalau itu dari Magelang. Getuk coklat yang enak banget dan getuk lindri yang warna-warni. Tergantung selera. Harga terbaru 500 perak dapat satu bungkus.

Jenang sumsum. Bubur beras putih sama gula jawa, its my favorite pouridge pas aku TK dulu.

Jenang ireng. Ini kesukaan adikku, dulu paling hobbi makan jenang ketan item.

Jenang grendul. Mungkin karena ada grendul2nya atau bulet-buletnya. Bahasa Jakartanya sih Bubur Candil (kayak namanya penyanyi yo). Pas TK hobi sekali makan Jenang ini dan sampai sekarang tetep suka.

Sawut. Adalah makanan telo diparut dikukus dan diberi gula jawa. Blenyek..blenyek enak!

Cenil. Bulat, kenyil-kenyil, warna-warni, dari ketela. Makannya pakai gula pasir dan parutan kelapa.

Klenyem. Dari namanya kelihatan ndesone poll. Ketela diparut kemudian dicampur kelapa, dibulat-bulat kasih gula merah. Gorenglah….

Klepon. Hijau, manis, ada gula jawanya. Ditaburi kelapa. Dulu ada embah-embah yang jualan lewat depan rumah. Sekarang masih hidup nggak Ya? Saking senengnya ama klepon, pas SD dulu seneng eksperimen bikin nih kue dan jadinya enak abis, this is it….

Ketan. Pernah ada cerita simbah-simbah jualan ketan di depan SD sekolah dulu, habis makan daunnya suruh mengembalikan buat yang lain. Amit-amit, jualan kok nggak modal yo Mbah.

Lopis. Nah, ini pasangannya ketan. Enak, manis, guruh, pakai gula jawa cair.

Jadah or gemblong, terbuat dari ketan, biasanya dibuat pas ada mantenan or sunantan. Umum bangetlah…paling enak pas anget dan dibakar. Paling nggak enak pas atos!

Jenang. Udah bikinnya lama, pakai ngaduk-aduknya di wajan yang supergede, makanan ini sudah umum banget pas mantenan. Terasa enak ya pas lapar. Tetep..

Kemplang. Pernah denger but kayaknya belum pernah makan (???) Ini julukannya temannya masku dulu, karena Ibunya jualan kemplang, ih jahat yoo.

Salome. Inilah makanan asli tidak sehat babar blaz. Salome (bukan satu lubang rame-rame lho) alias cilok adalah makanan yang dibuat dari tepung pati dan dibulet-bulet kayak bakso. Campurannya MSG, sedikit telor dan apalagi ya?? Dicelup ke saos botolan gandaria yang nggak jelas bahan dan sangat banyak pengawetnya. Dasar anak-anak, sudah digigit kadang dicelup lagi ke wadah saosnya. Dulu kok aku doyan yo? Saking ngefansnya, pernah aku bikin sendiri di rumah. Tahu nggak rasanya, kenyal kayak bola bekel karena kebanyakan pati kanji. Dasar koki amatiran..

Grontol. Awas jangan kepeleset nyebutnya ya.., nih makanan simple banget sebenarnya. Jagung direbus dikasih garam sama kelapa dan gula pasir. Siap disantap.

Madu mongso. Makanan khas Bu Puh Karno tetanggaku dulu. Tiap lebaran bikinnya pasti madu mongso, ssttt sampai sekarang masih lho…

Karak. Ini adalah kerupuk nasi, nasi yang diberi bleng dan kemudian digoreng jadi kerupuk. Dulu pas SD, di warungnya Bu Tum dijual dengan harga 25 dapat 2 potong plus sambel tumpang di atasnya. Enak lho…

Peyek sambel. Sama kayak karak sambel, Cuma pakai sambel kacang. Peyeknya tepung doang, nggak ada kacangnya. Maklum Bu, 25 perak thok.

Cao. Minuman yang asli nggak sehat. Soalnya buatnya di ember pakai celana (maksudnya penjualnya yang pakai celana), pakai sumba (pewarna yang susah hilang kalau kena tangan atau teres orang biasa menyebutnya) dan pakai sari manis atau natrium siklamat. Kalau misalnya aku disuruh minum sekarang dibayar seratus ribu tentu aku pikir-pikir dulu, kalau satu juta, langsung mau dech, He..he..Dulu nih minuman terasa enak banget, apalagi habis lari-larian kemudian minum caonya Yu Ni di warung belakang sekolah. Dasar anak-anak, nggak ngerti kanker. Harganya Cuma 25 perak segelas. Ssttttt, gelasnya kadang nggak dicuci lho, karena saking ramenya tuh warung. Aku saksi hidup.

Ice Juice kacang ijo dan tape. Sudah jadi rahasia umum, kalau airnya ngambil dari kamar mandi di SDku dulu. Pagi-pagi, penjualnya bawa ember ketika masih belum ada siswa, ngambil air di kamar mandi siswa yang butek dan kotor, kemudian dituang ke wadah buat jadi air putih pencampur es kacang ijo dan es tape. Hiiii….hiiii…, dasar anak-anak sudah tahu kayak gitu masih nekat aja beli, dan ngantre lagi belinya. Maklum, anak-anak desa lihat Blender udah kayak barang aneh. Harganya Cuma 50 perak, hingga aku lulus SD. Warung es depan sekolahku ini cukup lama bertahan dengan air mentahnya, sekarang udah nggak ada lagi. Syukurlah…

Tape singkong. Dijual di pasar, beli seratus dapat sak ndayak koplak. Murah, paling enak ya digoreng.

Rondo royal. Itu tadi tape yang digoreng, kok namanya rondo royal gitu ya???

Tape ketan hitam. Ini jajanan pas nikahan desa. Di Display di meja, sama dikasih sendok kecil2. Kalau pingin tinggal buka daunnya dan makanlah dengan tidak bersamaan daunnya.

Putu ayu. Kayak sejenis mie yang panjang-panjang dan diberi kelapa. Dulu aku ingat yang jualan agak nuwun sewu, budi alias budek dikit alias tuna rungu, sehingga harus teriak-teriak kalau mau manggil buat beli.

Suweg. Inilah makanan kesukaan simbah putriku. Makanan yang asli bikin kenyang karena karbohidrat doang. Nggak tahu enaknya dimana, sampai simbah-simbah jaman dulu ngefans banget. Beli 200 perak bisa dapet satu piring penuh, warnanya yang kekuningan, cukup menggoda tapi buatku nggak enak, bikin kenyang. Biasanya pas pertandingan voli antar desa, julukan buat tim yang datang dari pelosok kecamatan, anggun (anak nggunung) adalah tim dengan kebanyakan makan suweg, so bodo..he..he…dasar anak kecamatan, otaknya juga bebal aja belagu…

Gembili, lupa pernah makan apa belum ya, kayaknya sejenis umbi-umbian yang nggak ada rasanya kecuali bikin kenyang dan bikin kentut..

Entik, inilah paket makanan khas ndeso yang sering jadi bahan olok-olkan dulu. Dasar lu kebanyakan makan suweg, gembili, sama entik. Inilah ejekan untuk teman-teman yang bodonya nggak ketulungan.

Es Lilin. 50 perak, bisa beli es warna-warni hiiiii……..

Es Setrup. Aku paling seneng sama es setrup ini, karena warnanya yang ngejreng dan menggoda selera anak-anak. Sehat nomor sewidak rolas, yang penting enak dengan warna merah membabi buta. Cuma 50 perak segelas.

Es Temu lawak. Nggak jelas nih minuman. Seratus perak dalam kemasan botol-botol kecil 300 mL an, buatan Solo. Mizonenya jaman dulu kali ya. Rasanya beraneka ragam dari rasa sprite, strawberi, jeruk, jambu bahkan sampai rasa salak. Kebayang nggak minuman rasa salak. Untung nggak ada minuman rasa sawo sekaliian. Amit-amit deh. Aku yakin pengawetnya se Indonesia raya karena saking banyaknya. Kok dulu nggak ada yang ngelarang ya minum kayak begituan. Huu,…hu…., aku berjanji, anakku kelak nggak ada yang makan makanan sampah dan minuman racun kayak bapaknya dulu, titik!

Jamu “Uyuh Jaran”. Ini sih manisan, namanya aja dibikin jamu uyuh jaran (dalam bahasa Indonesia artinya Jamu kencing Kuda), namanya norak banget ya, mentang-mentang warnanya kuning kayak urin, kemudian sama penjualnya diberi nama jamu uyuh jaran. 50 perak dapat seplastik kecil.Untung namanya bukan jamu uyuh prawan.pheww..phweww….

Jamu kunir asem, ini nih minuman favoritku sampai saat ini. Segar dan ada kecut-kecutnya dikit. Memperlancar Haid katanya, untung aku nggak haid, trus untuk cowok memperlancar apa ya?

Jamu Beras Kencur, “Jamunya jeng, jamu beras kencur biar badan gemuk subur.” Enak, apalagi pas anget-anget.

Jamu Cabe Puyeng. Nih jamu terasa panas di badan, Si Niken dulu teman mainku yang mengajarkan aku untuk minum nih jamu. Ketahuan Bapak, dilarang, karena bikin badan panas. Takutnya ada campuran obat-obatnya. Nurut lah, rasanya juga pahit, nggak selera.

Rengginang. Kerupuk dari beras atau beras ketan yo? Nggak ngerti aku. Enak kalau tidak sering-sering dan kondisi perut laper. Makanan ini mood2 an juga, kadang ada yang enak banget dan kadang kebalikannya.

Semprong. Bentuknya panjang-panjang. Dari tepung kanji apo telo yo? Rasanya tidak begitu enak buatku sekali dua kali makan sudah cukup. Rasanya biasa banget.

Trowolo. Kerupuk telo berwarna warni dan biasanya pada acara sunatan atau mantenan. Ada yang coklat polos dan ada yang berwarna. Males banget makannya kalau nggak kepaksa. Enakan makan peyek. Herannya kok masih banyak dulu yang bikin nih kerupuk. Lokaaalllll bangetttttt…..

Marneng. Jagung digoreng, kriuk…kriuk..ada yang dijual plastik kecil-kecil. Atoz Bro…..

Trembesi. Item, kecil, bikin flatus. Harganya murah banget, 25 dapat seplastik kecil. Bisa satu jam makannya, karena susah dibuka. Sekarang mulai langka. Biasanya yang jual, simbah-simbah tua duduk si tikar sambil bawa lampu teplok. Kasian ya Simbahnya. Kalao Makan bikin rahang pegel lho…

Kwaci. Isi semangka atau biji bunga matahari, sering diplesetkan kwaciaannnnn dech lu…., murah meriah. Kwaci bunga matahari hanya 50 perak, di warungnya Bu Ndari.

Kembang Goyang. Nih makanan tradisional tapi bikinnya gak susah, karena pakai dicetak—cetak segala. Rasanya sih lumayan enak dan makannya harus bener2 pas lapar, biar bisa menghayati.

Iwel-iwel. Dibungkus daun pisang, komposisine nggak tahu. Isinya ada kelapa, gula merah, kayake tepung beras opo yo?

Utri, nih makanan enak, murah dan bikin kenyang. Dari ketela kayaknya diibungkus daun pisang dan apalagi ya bahannya? Lupa?

Wajik. Dari ketan yang rasanya manis. Umumnya warnanya merah karena gula jawa, hijau, dan yang bikin males makannya kalo dikasih warna pink, valentine kali ya????

Gatot, nih makanan namanya kayak temen ngajiku dulu. Tega nih Ibunya ngasih nama anaknya persis nama makanan dari ketela. Mbok ya ngasih nama yang keren sekalian seperti Black Forest, Clappertart, brownies biar kebarat-baratan gitu. Untung Cuma gatot, kalau dikasih nama getuk gimana coba, apalagi dikasih nama suweg. Kasihan anaknya pas gede nanti, cakep-cakep namanya “ Mr. Suweg Samiwareg Saputro”, duh kalau aku yang punya nama udah tak ganti di depan notaris! Tak bikin selametan bubur merah dan bubur putih langsung!

Apem, Simbah putriku hobi banget nih bikin kue apem. Kalau nggak pinter bikinya tentu gosong bawahnya. Rasanya biasa banget kalao nggak ada campurannya. Kalu mau modal dikit suruh orang bikinin dikasih nangka dikit, santannya dibanyakin, rasanya hampir kayak serabi. Semuanya tergantung modal Bro!

Cipiran. Bahannya dari tepung, telur, mentega dll. Digoreng dan disajikan pas acara sunantan adikku dulu. Bentunya panjang-panjang bergerigi dan rasanya gurih-gurih eneg kalo kebanyakan. So jangan banyak-banyak, kalorinya lumayan lho!

Karuk. Ini nasi yang dikeringkan, kemudian dijemur dan digoreng. Dicampur gula jawa biar manis. But, aku nggak suka nih makanan. Bikin kenyang rasanya nggak seberapa. Di jual 25 perak di warung belakang sekolah.

Tiwul, adalah makanan dari gaplek. Representasi dari makanan orang nggak punya. Sebenarnya enak nih makanan, apalagi dicampur sama getuk coklat, hmmmmm...

Gendar. Nasi, dikasih obat bleng, diperam semalam dan besoknya udah jadi kayak kue. Tinggal dipotong-potong, makannya sama pecel jadilah gendar pecel. Kalau makannya sama kinco maka jadilah gendar kinco. (Aku makan makanan ini pas di Semarang), 500 perak awal tahun 2000an.

Jemblem, dari namanya udah nggak keren. Sejenis gethuk kalo nggak salah. Kalau salah mohon dimaafkan.

Gembuk. Dari ampas tahu, babar blaz nggak ada gizinya. Murah mbakyu, 25 perak dulu pas aku SD. Aku kurang suka sama gembuk, ora enak. Membuat kenyang.

Sambel tumpang. Aku seneng banget sama sambel tumpang sejak SMA, dulu Mbak Iin pemilik kost memberi tahu bahwa untuk makan sambel tumpang yang enak, biarkan sambel tumpang sama nasi panas hingga menggumpal terlebih dahulu, so ambil nasi panas beri sambel tumpang, bungkus dan diamkan 3-4 jam. Lalu makanlah, lebih enak pren. Tahu nggak, ternyata makanan ini hanya popular di daerah Solo, Sragen, Ngawi, Madiun ke Timur sampai Suroboyo. Pas kuliah dulu, pada waktu profesi di Jepara, aku pernah masak sambel Tumpang di Posko. Anak-anak pada jijik dan heran kali ya. Kok ada tempe busuk dimasak dibikin sambel. Anak-anak daerah semarang, Jogja ke barat, pantura, nggak familiar dengan nih masakan. Aduh kasian banget ya, lha wong rasanya ueeennaaakkkk poll. Aroma tempe busuknya menambah selera. Pernah saking jijiknya, sambel tumpangku dibuang sama temanku satu posko. Duh nasib. Selera eksotik pada nggak ada yang tahu.

Sego Gogik. Mbahku dulu yang pernah makan. Kayaknya nih nasi sudah punah ya. Kayak harimau jawa saja sudah punah.

Doreaki. Apa nama aslinya nggak paham, aku sama adikku selalu menyebut roti sejenis bolu yang bentuknya temben dengan sebuatan doreaki. Terinspirasi dari doraemon tentunya. Ntarlah, kalau pulang ke Jawa aku cari tahu.

Putu. Makanan dari tepung beras, kelapa, dan gula jawa ini enak kalau lagi anget. Dikukus di dalam bamboo dan diuap. Sekarang masih banyak dijual dijalan-jalan.

Es Potong. Sepotong harganya 25 perak, susahnya kalau dapat potongan di tengah, soale nggak ada pegangan plastiknya. Biar ada pegangnnya, maka beli 50 perak. Separo, ada pegangannya dan nggak takut jatuh itu es. Pas TK, aku masih ingat bahwa temanku dulu ada yang menanyakan ke penjual es potong. Mbah, niki banyu mateng to Mbah?(maksudnya esnya air matang atau air mentah). Nggak mungkinkah penjual mau jawab “iyo le iki banyu mentah” (Iya Nak, ini air mentah). Pertanyaan aneh, maklum anak TK, yang tak herankan sih Bapak Ibunya. Kok nggak bisa ngajarin anaknya supaya pinter memfilter sesuatu, ceillee, anak TK disuruh memfilter. Aku ngomong kayak gini karena aku sudah sarjana lho he..he…he…

Es Tong-Tong. Karena penjualnya memakai kenongan yang bunyinya tong..tong…gitu, so namanya es tong-tong. Coba kalau penjualnya bawa bedug, mungkin namanya bukan es tong-tong tapi es dug dug kali ya. Takutnya penjualnya bawa simbal, bisa jadi es blezz…..blez…….blez…….apalagi kalao bawa kentongan, jadinya es tretok..tok…tok……tok……

Brondong. Makanan yang super nggak enak, karena nggak ada rasanya. Di pasar malem biasanya dijual dan dibentuk menjadi sepeda, boneka dll. Bentuknya sih unik, rasanya nggak jamin deh. Lebih enak popcorn jauh (ya iyalahhhhhhhhh).

Nogosari. Ini makanan yang umum kalau ada snack pas ada acara syukuran RT, arisan, Perpisahan, Kenduri, Ulang Tahun dll. Tepung isinya pisang dibungkus daun pisang. Gurih, but bikin kenyang.

Bolu kukus. Aku pernah protes sama Ibu, dimana ibu pada waktu itu lagi gemar-gemarnya belajar bikin kue. Kebangetannya kok yang dibikin itu Bolu kukus sama pukis terus. Sampai bosen dan sampai sekarangpun nggak doyan. Gimana nggak bosen, ada acara arisan bikin bolu kukus, ada tetangga yang nikah, bikin bolu kukus, ada acara keluarga ngumpul bikin bolu kukus lagi. Waduh rek, mending kalau bolu kukus itu enak. Udah bikin kenyang, seringnya helm-an karena tidak mau ngembang. Jadi plontos kayak apem. Duh, kalau udah helm-an gitu berarti produk gagal. Siap-siap disortir dan dibuang kedalam perut. Perutku, no way!!!

Pukis. Nih sama karekteristiknya dengan bolu kukus. Bahannya hampir sama. Kalau pukis masih mending enak, apalgi kalau telur sama menteganya banyak. Apalagi pas hangat. Sempet kuprotes juga karena bosen dengan si pukis ini.

Lumpia, Ini adalah salah satu makanan favoritku sampai saat ini. Walaupun setiap ada acara keluarga Ibuku selalu membuatnya untuk hidangan, aku tidak pernah bosan sampai detik ini. Lumpia masuk dalam kategori gorengan dan isinya adalah rebung yang diiris kecil, telor dan sayuran dan ayam. Rasanya yang gurih, asin membuat aku selalu ketagihan. Lumpia buatan ibuku lebih enak dari lonpia semarang sekalipun. Sayang tidak dikomersilkan.

Cantik Manis, Makanan ini juga sering nongol di hajatan keluarga, arisan dan acara-acara lainnya di lingkunganku. Terbuat dari tepung sagu mutiara dan dalamnya berisi pisang. Persis kayak nagasari cuma pakai tepung sagu mutiara saja.

Mendut. Ibu hobi sekali dalam membuat kue ini. Rasanya yang manis dan lengket sangat nikmat apabila dimakan dengan minum teh panas. Isinya enten-enten atau adonan parutan kelapa yang dicampur gula dan dimasak. Kulitnya terbuat dari adonan beras ketan dan santan. Kemudian dibungkus sama daun pisang dan dikukus, ready to serve.

Kik. He..he.., namanya sebenarnya cake! Tapi namanya anak kampung, pas praktek keterampilan masak, menyebutnya kue kik, bukan cake! Aku kenal kue ini ketika kelompok masakku berdebat tentang makanan apa yang akan dibuat pas ujian praktek (EBTA Praktek SD) nanti. Aku bersikukuh mau membuat klepon, but ditolak sama teman2 lainnya. Kemudian usulku berpindah ke lompia (my favorite too), but ternyata ditolak karena butuh 2 kompor (males bawanya!). Temanku juga bersikukuh hendak membuat kue Kik katanya? Kik?? Wonder juga nih. Kayak apa nih kue. Kata temenku yang juga anak guru SD tersebut kue ini enak dan bikinnya nggak terlalu susah, apalagi si Ibu anak tersebut akan membantu membuatnya as a consultan gitu loh. Ya udah lah, buat Kik (walaupun aku nggak begitu suka Roti). Ternyata bikinnya pakai oven juga, untung kelompok lain ada yang bawa oven, sehingga bisa share. Sempet numplek di oven nih kue, gagal gara-gara ovennya dipindah-pindah. Nasib, akhirnya bikin lagi. Pas penyajian memang agak kehitaman, gosong-gosong pahit dengan sukade (butiran dari pepaya yang diawetka) berwarna-warni. Lumayanlah, bikin kue kik kreasi anak-anak SD kampung. Ini masih lumayan dibanding kelompok lain yang coba bikin kue tart yang nggak jadi, soalnya butter creamnya nggak bisa pas, maklum amatiran. Lebih-lebih lagi, kuenya nggak bisa ditumplek, lengket cing. Namanya saja keren, kue kasih sayang. Malah jadinya kue kasihaannnnn deh Lu! Dalam hati meledek, jahat ya..masalahnya temanku itu otodidak dari resep di majalah. Udah anak SD, amatir, lihat resep lagi. Duh. Ada kisah kelompok lain yang didominasi cowok. Kebayang nggak, udah anak SD, amatir, kelompoknya cowok semua Cuma ada 1 cewek dan itu pendiam banget, kalau nggak dicolek nggak bakal ngomong. Akhirnya dengan berbekal buku resep masakan mereka mencoba kreasi makanan baru dari buku resep. Sim salabim, bagus cing hasilnya. Nggak tahu pasti nama kuenya, komposisinya dari buah sirsat juga kayaknya. Penampakannya warna hijau segar dan bagus pas dicetak seperti kue tart. Selidik punya selidik, rasanya…hoeeekkkkk pahit banget…nah lo, penampilan menipu. Dasar anak SD jadinya langsung meledek. “Kok pahit gini ya”, kataku sambil senyum-senyum penuh arti. “Biarin, yang penting yang dibawa ke kantor guru bukan ini, tapi timpan” (makanan khas aceh, maklum ketua kelompoknya keturunan aceh). Untung dia masih baik, bukan kue pahit tersebut yang diserve ke kantor guru. Tapi timpannya. Sampai saat ini aku masih penasaran dengan nih makanan, dari apa terbuatnya dan bagaimana rasanya?

Bersambung.................

Kaki lima


Aku memang terlahir sebagai anak desa, lahir dan dibesarkan di sebuah desa di kaki gunung Lawu di perbatasan Jatim dan Jateng. Sejak SD hingga SMP aku mengenyam pendidikan di kecamatan, pada waktu SMA baru aku sekolah di Kabupaten. Sebagai anak desa aku senantiasa dikenalkan dengan namanya konsep kesederhanaan. Bapakku selalu memberi teladan tentang kesederhanaan yang begitu sangat beliau pegang dan juga di tanamkan dalam keluarga. Misalnya, Bapak tidak pernah mengajari anaknya untuk makan di restoran-restoran mewah ketika bepergian, walaupun sebenarnya Bapak mampu untuk membayar harga makanan tersebut. Oleh karena itu aku sangat terbiasa makan yang di kaki lima, warung-warung kecil di pinggir jalan, warung-warung tenda dan sejenisnya. Hingga dulu pernah aku dan Ibu berkompromi untuk menyindir Bapak ketika hendak makan dalam perjalanan ke Malang kampung halaman Bapak. Pasti deh kaki lima, dan ternyata memang benar. Bapak Cuma tersenyum ,kaki lima juga enak kok. Asalkan pas milihnya, kata Bapak kala itu, yah kaki lima lagi.
Ajaran Bapak yang selalu mengajak kami anak-anaknya untuk tidak bermewah-mewahan menjadikan aku terbiasa makan di kaki lima. Buat aku, kaki lima bukannya tidak enak, akan tetapi menawarkan sajian yang sederhana, murah dan sangat familiar di lidah. Sekelas warteg dan warsun juga. Satu hal yang memang agak susah diprediksi adalah kebersihannya. Memang itulah yang menjadi masalah utama dalam sebuah warung makan sekelas warteg, warsun, kaki lima, lesehan, warung padang dsb. Menyantap hidangan rumahan buat aku memang terasa nikmat apalagi tersedia aneka sayur dan lauk pauk yang terbuat dari kedelai. Ibuku sangat mengerti seleraku ketika aku balik kampung. Sayur adalah salah satu makanan yang sangat kusuka, disamping telur dadar, tahu, tempe, udang. Makanan tersebut sangat pas komposisinya dalam sebuah hidangan, apalagi ditambah dengan kecap manis dan kerupuk. Dan aku tidak begitu suka sambel, kecuali sambel tumpang, sambel kacang dan sambel bajak.
Dalam memilih makanan, aku memang tidak begitu pemilih. Kaki lima, kucingan/angkringan, warung sunda, adalah tempat makan favoritku sampai kini. Kota yang menyajikan wisata kuliner yang pas dengan selera lidah dan kantongku adalah kota Solo. Nggak tahu kenapa, aku merasa solo menyajikan banyak makanan yang murah, enak, dan lumayan bergizi. Sehingga, ketika di Solo aku tidak segan-segan mampir dari satu angkringan ke angkringan yang lain. Yang biasa aku cari adalah gorengan. Gorengan tempe di Solo terasa paling lezat apalagi ditambah es teh tawar. Puas makannya dan murah harganya.
Sebagian temanku menganggap seleraku kampungan dan tidak higienis. Dan aku lagi-lagi tidak perduli, karena aku kembali pada prinsip bahwa selera tidak dapat diperdebatkan. Bagiku gorengan mendoan adalah sepuluh kali lebih nikmat dari namanya kepiting. Karena sampai saat ini aku belum bisa menemukan titik kenikmatan kepiting. Bagiku kepiting sangat biasa saja, kembali lagi sih pada selera. Seleraku kini dan nanti memang tidak akan berubah sedikitpun, mengingat aku sudah bertahan dengan seleraku seperti ini dalam kurun waktu 10 tahunan, so sudah mendarah daging. Seiring bertambah usia mungkin aku harus mengurangi yang namanya goreng-gorengan, risiko tinggi kolesterol. Untuk 3 tahun ke depan mungkin aku masih excuse. Semoga tidak ada masalah dengan kolesterolku, ya semoga….

Taksi

Taksi bagi aku adalah sebuah kendaraan yang mewah, disamping mahal dan hanya kalangan tertentu yang hobi menaikinya. Selain itu kalangan yang kepepet biasanya memilih transportasi ini. Taksi akan terasa sangat murah apabila kita naik berempat, so kalau dibagi rata patungannya tidak terasa gedhe. naik taksi adalah salah satu hal yang aku hindari kalau tidak kepepet, patungan atau dibiayai kantor. kalau dibiayai kantor aku agak sedikit lega, karena biaya yang dikeluarkan akan di klaim ke perusahaan. Naik taksi juga harus tahu minimal tujuannya dengan jelas, sehingga tidak dibawa wisata kota sama supirnya, dengan argo yang terus berjalan makan tagihannya juga akan membengkak. Kalau mau aman, boleh borongan. Sehingga dijamin akan lebih cepat dan tidak diputer-puter keliling kota, karena semakin lama berputer-puter maka sopirnya akan rugi sendiri. But, kita musti tahu standart taksinya berapa, sehingga jatuhnya tidak kemahalan banget.
Naik taksi ketika macet bisa membikin spot jantung. Apalagi kalau mau mengejar pesawat. Pengalaman naik taksi ke Bandara seorang diri dengan rute yang tidak jelas membuat keringat dingin mulai mengucur. Dari Ragunan yang seharusnya bisa lewat tol priok, aku memilih lewat BSD so, muter muter nggak karuan. Untung tidak macet, bagaimana seandainya macet di Serpong sampai Kebon nanas, bisa runyamkan? Untungnya nyampai Bandara pas 1 jam sebelum keberangkatan. Sialnya lagi, ternyata pesawatnya delay. udah keburu-buru, spot jantung ternyata delay. Pengumuman delaynyapun ½ jam sebelum take off. Tahu begitu aku nyantai-nyantai aja ya. Yow wis lah yang penting nggak ketinggalan pesawat.
Sekarang kalau naik taksi aku memilh yang resmi, soalnya tidak mau ambil risiko kalau ada apa-apa di jalan nggak bisa klaim ke mana-mana. Kalau seandainya ada kendaraan umum dari Ragunan ke Bandara, akan lebih aman kalau aku memilih naik angkot saja. masalahnya kalau naik angkot harus ke Blok M dulu dengan koper segedhe anakan bagong. Ribet. Pinginnya ketika nanti ada acara luar kota nggak sampai bawa koper segedhe Bagong, selain ribet akhirnya nggak bisa naik kendaraan umum, musti naik taksi. males banget, udah kayak orang kaya aja ya. Yah, begitulah, ada uang ada fasilitas. So, jadilah orang kaya yang kalau naik taksi nggak perlu pegel harus mantengin argo melulu.....

Rabu, 29 September 2010

BATAM DALAM KENANGAN





Ketika kudaratkan kaki di Hang Nadim
Kulihat Ribuan Wajah Penuh Cinta dan Harapan
Kerinduan akan sebuah tempat persinggahan
Di Tengah hiruk pikuk gemuruh panas pulau Batam

Itulah sepenggal lirik lagu nasyid milik Suara Persaudaraan dengan judul Bergegaslah. Sebuah lagu yang menginspirasi saya agar suatu saat bisa menjejakkan kaki di pulau Batam, sebuah pulau yang paling mendekati Singapura yang sedang berkembang pesat menjadi sebuah pulau Industri andalan Indonesia. Dari lirik lagu yang menceritakaan tentang banyaknya akhwat dan gadis-gadis di Batam, dimana sebagian besar dari mereka rindu akan pelabuhan hati atau pasangan hidupnya. Mungkin memang banyak perantauan yang datang ke kota Batam untuk mengadu nasib. Memang persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa kalau sudah kerja di Batam ibarat kerja di luar negeri. Untuk standart gajipun lebih besar dari kota-kota yang lain, untuk sekelas pembantu rumah tangga bisa mencapai 1-1,2 juta, makan minum ditanggung majikan dan tidur disediakan. Kalau dibandingkan dengan gaji perawat di Jakarta yang fresh graduate hampir sama bahkan lebih besar pembantu rumah tangga di Batam. Di Jakarta saja, gaji perawat di Rumah sakit ada yang Cuma 700 ribu tambah dines malam. Jadi nggak nyampai satu jutaan dengan latar pendidikan D3. Lebih lebih lagi Perawat adalah profesi dengan risiko kerja yang sangat tinggi yang selalu kontak dengan cairan dan darah pasien, hal ini memiliki risiko penularan yang tinggi. Sungguh sebuah profesi yang terlupakan. Bahkan oleh perawat itu sendiri.
Anyway, berbicara masalah perawat akan jauh sekali hubungannya dengan apa yang akan aku ceritakan tentang pengalaman perjalananku kali ini. Batam dalam kenangan, sebuah judul yang aku ambil dari judul nasyid suara persaudaraan yang menceritakan tentang keindahan pulau batam dengan hijau alamnya dan pesona pemandangannya. Pertama kudaratkan kaki di Hang Nadim aku belum begitu merasakan pesona pulau yang mulai dikembangkan oleh Badan Otorita Batam sejak Tahun 1970 an ini. Terang saja, aku nyampai di kota Batam juga pada malam hari, sehingga yang nampak hanya gelap di sekitarku. Jalan-jalan yang halus menjadi salah satu indikasi bahwa pembangunan di kota Batam memang sedang digencar-gencarkan.
Aku ke Batam dalam rangka tugas dari Kantor. Terang saja aku senang sekali, karena Batam adalah pulau ke-2 di Indonesia yang ingin sekali aku kunjungi setelah Pulau Bali. Kalau ada rezeki pulau yang ke-3 yang ingin aku kunjungi adalah pulau Papua, So God Will. Dalam 5 hari aku berharap bisa melihat sekilas pesona Batam yang selama ini aku bayangkan identik dengan kemajuan yang berkontinuitas. Setelah check in di Hotel dan beristirahat, paginya aku sempatkan berjalan kaki mengelilingi kompleks sekitar Hotel. Sepintas memang tidak ada yang beda dengan kota-kota kecil lain di Pulau Jawa. Disini aku jarang sekali melihat angkot, persis kayak di Bali yang jarang Angkot. Selain itu jumlah pengendara sepeda motor juga tidak terlalu banyak. Tidak seperti di Jakarta ataupun di Bali.
Aktivitas kantor memaksaku untuk berjalan berkeliling-keliling kota Batam, dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Semakin siang kurasakan memang semakin panas. Persis kayak lagunya suara persaudaraan yang mensiratkan bahwa Batam berhawa panas. Kota Batam memang terasa sangat panas, melebihi panasnya semarang Bawah. Memang secara geografis pulau ini dikelilingi oleh lautan, jadi wajar kalau memang terasa panas sekali.
Dengan luas yang tidak seberapa, berkeliling pulau Batam bisa dilakukan dalam hitungan jam, dimana barisan pegunungan dan lautan, danau, hutan sambung menyambung menjadi satu dalam pesona yang silih berganti. Di Batam yang sedang berkembang menjadikan alam menjadi rusak. Dimana banyak kutemui kerusakan-kerusakan alam akibat alih fungsi hutan menjadi jalan, perumahan dan industri, hal ini menjadi salah satu potret kedamaian yang harus hilang dan tergantikan. Miris memang, dimana banyak sekali gunung yang dipangkas dan tanahnya katanya buat menguruk negara tetangga, wallahuallam. Semoga alih fungsi Hutan yang ada tidak terjadi secara semena-mena. Kalau tidak dilakukan dengan seimbang bukan sebuah kota yang nyaman yang akan terbentuk, akan tetapi jakarta-jakarta yang lain yang akan tercipta. Dimana kesalahan dalam tata kota menyebabkan kesemrawutan disemua aspek kehidupan.
Dari informasi yang aku baca di Internet menyatakan bahwa Batam memang akan dikembangkan menjadi sebuah kota Industri karena tanahnya tidak begitu subur. Pembangunan oleh Badan Otorita Batam digencarkan untuk salah satunya menyaingi singapura sebagai pusat bisnis dan hiburan. Salah satu kebanggaan dari kota Batam adalah jembatan Barelang yang merupakan singkatan dari Batam, Rempang dan Galang. Jembatan ini menghubungkan Batam dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Jembatan ini juga disebut Jembatan Habibie karena dibangun pada era kepemimpinan Habibie sekitar Tahun 1999. Jembatan yang menjadi ikon kota Batam ini memang lumayan unik, dengan arsitektur yang beda dengan jembatan-jembatan lain di Indonesia. Pemandangan di sekitar Jembatan Barelang sangat indah, dengan laut dan pemandangan pulau yang terhampar. Lagi-lagi adanya kerusakan hutan dan ulah pengembang yang merusak pesona ini. Dimana-mana kapitalis berusaha membangun sarana-prasarana kelas tinggi yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sebagian orang saja. Pembangunan villa-villa yang menghadap ke laut bukan menambah keindahan akan tetapi bagi aku hal itu merusak sebuah lukisan alam yang terhampar di bumi Batam ini. Aku coba bayangkan bagaimana Batam pada tahun 60-70 an pasti Indah sekali. Dimana masih banyak hutan perawan dan masih banyak satwa-satwa yang berkeliaran di hutan yang menjadi habitat aslinya.
Beraktivitas sambil membaca tentang budaya, kebiasaaan dan karakteristik kota ibarat sambil menyelam minum air. Dengan travelling sambil bekerja, aku bisa sekaligus menjalankan tugas sambil mencari pengalaman hidup. Pasti akan ada yang beda yang bisa aku ambil. Di Batam banyak sekali suku-suku yang mendiaminya. orang bilang Batam menjadi miniature Indonesia selain Jakarta tentunya. Di Batam bermacam-macam suku hidup berdampingan seperti Melayu yang merupakan suku asli di Batam, Jawa, Bugis, Batak, Palembang, padang, Cina dan suku-suku yang lainnya. Bermacam akulturasi budaya terjadi di sini. Tidak ada spesifikasi budaya yang mendominasi. Semuanya rukun berdampingan ada di kota ini. Berbagai macam tempat ibadah agama juga bertebaran di Kota Batam, macam-macam kuliner dan makanan-makanan dari seluruh Indonesia. Yang unik dari kota ini ketika ketika hendak memesan minum es teh, mereka menyebutnya The obeng dan kalau teh hangat mereka menyebutnya teh O. Nggak tahu asal muasalnya kok bisa obeng dan O seperti itu. Tiap-tiap daerah memang punya kata sendiri dalam mendefiniskan minuman Teh. Di Jakarta, kalau di Warteg ketika ditanya mau minum apa, kemudian kita jawab teh maka yang disuguhkan adalah teh tawar, beda sama di jawa kalau minum teh berarti Teh Manis, kalau mau menyebut teh tawar tanpa gula maka harus pakai teh tawar. Teh paling enak yang pernah kurasakan adalah teh dari Surabaya di warung samping kostku dulu di Gubeng Surabaya. Ketika kutanya pada penjualnya, apa merk teh tersebut, katanya sih tidak dijual di Pasaran. Belinya di daerah lawang Malang. Sayang sekali.
Di Batam, aku coba berbagai macam makanan. Bersama teman-teman kerja area Batam kami coba berbagai macam masakan yang berbeda-beda. Makan sop tulang kaki dari Cirebon, kemudian makan nasi goreng seafood, makan di warung Sunda, makan malam di Harbor bay dengan seafood kepiting. udang, ikan, dan tentu saja makanan favoritku gorengan (tetep nggak ketinggalan). Dari semua makanan yang ada di Batam rata-rata memiliki ciri khas kedaerahan masing-masing. Bagi aku warung Sunda yang paling enak. Enak dalam rasa dan harga. Aku orang jawa yang suka makanan sunda. Bagi lidah orang jawa makanan sunda memang tidak jauh dari tipikal makanan jawa. Satu hal yang paling aku senangi dari makanan sunda adalah banyak sayurnya. Sayur is one of my favorite dishes. Kalau makan tanpa sayur pasti rasanya ada yang kurang. Dengan makan sayur, gorengan dan telur dadar adalah paket hidangan yang komplit, murah dan meriah.
Selain itu, seafood di Harbour Bay juga sangat enak. Di Jakarta kalau mau makan seafood biasanya aku dan temen-temen makan di Restoran jepang yang all you can eat. Masalahnya di restoran tersebut kita bisa menikmati udang, cumi sepuas-puasnya. Yang aku heran sampai sekarangpun bahwa aku belum bisa menemukan kelezatan dari kepiting. Banyak orang yang tergila-gila dengan kepiting. dan aku sendiri sampai saat ini masih belum bisa merasakan dan menemukan dimana titik kenikmatan dari makan kepiting. Karena ketika makan kepiting yang kurasakan keras dan banyak tulangnya. Apa karena aku anak gunung yang jarang banget makan kepiting kali ya. Dari Seafood yang disajikan di Harbour Bay Cuma udang teur asin yang terasa sangat nikmat di lidahku. Rasanya memang pas, tidak begitu asin dan gurih. Inilah udang telur asin yang paling enak kurasakan selama ini. Makan malam bersama Pak Anedi, Pak Adi, Mbak Alin, Mas Tohiron di pinggir pantai sambil menyaksikan kapal-kapal yang lalu lalang dari Singapure. Pengalaman yang menarik.
Pengalaman menarik lainnya adalah ketika aku menyeberang ke Pulau Bintan untuk presentasi di RSUD Tanjung Uban. Pengalaman yang unik, karena aku bisa naik ferry yang kecil dan menyeberang selat dari pelabuhan Punggur sampai pelabuhan Uban. Akhirnya aku bisa menyeberang ke pulau Bintan dimana Tanjung Pinang sebaga ibu kota Kepri ada di Pulau ini. Di Tanjung Uban yang kurasakan memang sudah modern, jalan-jalan beraspal hotmix dan lagi-lagi panas. Satu hal yang membuat aku tidak nyaman. Kota di pinggir pantai membuat suasana memang terasa Panas, apalagi bayak hutan yang mulai gundul. Semoga pembangunan akan terus berwawasan lingkungan dan pembangunan bukan berarti harus merusak alam bukan?
Bicara tentang Batam, pasti akan bicara tentang BM alias Black Market. Ketika kuutarakan niat untuk pergi ke Batam, hampir semua temanku minta titip dibelikan elektronik yang BM. Karena katanya sih murah karena tidak kena beaya masuk, dan karena aku males diribetkan untuk hal-hal yang aku sendiri nggak paham, maka aku tolak dengan mengatakan sorry adi ke sana bukan jalan-jalan tapi mau kerja he..he..he…sok imut deh…
Selain BM oleh-oleh khas Batam adalah makanan-makanan yang diimport dari Malaysia. Di Supermarket banyak pilihan coklat Import yang murah-murah. Saking murahnya tak bela-belain beli sampai satu kardus makanan. Niatnya sih dibagi-bagiin di Jakarta nanti. Prinsip aku dalam membawa oleh-oleh adalah murah, meriah, dan sama rata sama bahagianya (yang memberi dan yang diberi maksudnya).
4 Hari Di Batam cukup memberiku pengalaman hidup yang tak terlupakan, semoga harapannya aku bisa kembali lagi ke kota Batam dan merajut kembali kenangan-kenangan travelling yang lain. Tidak ada salahnya mumpung masih single, karena dengan traveling kita akan belajar banyak hal tentang kehidupan yang tidak akan kita dapat hanya dengan kita duduk di belakang meja. Untuk rekan-rekan seprofesiku yang ada di Tanjung Uban, RSUD Batam, Budi kemuliaan semoga senantiasa sukses dan menjadi terbaik dalam profesi kalian. Terima kasih atas sambutannya dan semoga bisa ada waktu untuk bertemu lagi. mbak Alin dan Pak Anedi, see you in another occasion. Thanks for everything.




Jakarta, 26 September 2010
(On my Mam Bithday)

Selasa, 14 September 2010

Sinergi dengan alam


Hari ke-3 lebaran, dimana merupakan hari terakhir liburan cuti bersama di kantorku. Sudah sunnatullah bahwa liburan berapa lamapun akan terasa begitu singkat. Hal itu juga yang aku rasakan kini. Perasaan enggan menggelayuti dalam benakku, seandainya liburku ditambah satu-dua hari lagi, aku berandai-andai dalam hati. Pagi itu sebenarnya aku hendak menyelesaikan amanahku dari kantor untuk menyusun konsep training. But, rasanya males sekali harus membuka laptop dan duduk berjam-jam di depan laptop. Setelah lari pagi sebenarnya aku berencana untuk menyelesaikan bacaanku yang tidak kunjung usai karena terkena penyakit malas yang susah hilang dari kebiasaanku. Ketika membaca biasanya aku tiba-tiba tertidur, apalagi membacanya sambil di atas bantal. Untuk mensiasati hal tersebut biasanya aku pergi ke alam terbuka, di tempat yang sepi dan aku mampu membaca hingga berjam-jam lamanya, atau kalau lagi males keluar biasanya aku tidur dulu 2-3 jam dan kemudian mulai membaca. Hal ini adalah strategi-strategi yang aku tempuh dalam memaksakan diriku agar selalu mengupgrade ilmu dan isi otak yang lama kelamaan akan menjadi tumpul apabila tidak di upgrade ulang.
Pagi itu, setelah mandi dan menguras bak mandi aku bermaksud kabur dari kost karena takut ketiduran lagi di hari terakhir liburan. Lebih baik aku leyeh—leyeh di kebun binatang ragunan yang hanya berjarak kurang lebih 200 m dari kostku. Cuma modal 5000 perak, aku bisa membaca sambil menikmati nyanyian alam dari burung-burung dan serta mendengar jeritan monyet yang bersahut-sahutan. Sudah menjadi tradisi bahwa pada moment-moment lebaran suasana Ragunan ibarat pasar tumpah dadakan, semrawut dan ramainya minta ampun. Teman-temanku sudah mengingatkan aku akan hal tersebut. Tapi buatku dengan keramaian itu aku bisa dapat banyak ilham untuk pembelajaran hidup, betul nggak. Ambil positifnya sajalah.
Sebelum berangkat aku siapkan buku-buku yang hendak aku baca. Kumpulan buku di lemariku yang aku beli dari obral buku murah masih tertumpuk rapi di sudut lemariku. Kebiasaanku yang susah hilang apabila ada obral buku murah aku langsung kayak kesetanan untuk membeli, walaupun belum tentu ada waktu untuk membacanya. Yang penting beli dulu masalah waktu untuk membaca kan ada waktu luang, yang sayang apabila hanya untuk melamun dan nonton gossip di TV doang. Akhirnya kupilih buku karangan Vallerina Daniel salah satu mantan putri Indonesia yang aktif di kegiatan lingkungan hidup. “Easy green living”, kayaknya cukup menarik juga untuk dibaca, begitu pikirku. Selain itu aku juga membawa buku Andrias Harefa dengan Mindset Therapynya serta beberapa majalah kesehatan pemberian bosku di kantor. Kira-kira ada lima buku yang aku bawa untuk dibaca di Ragunan.
Masih pagi sekitar jam 09.00 aku memasuki pintu Ragunan, sudah cukup ramai dan nampak semrawut sekali di sekitar Terminal Ragunan maupun di Terminal Busway. Ditambah suara petugas yang mengatur lalu lintas dengan menggunakan speaker semakin membuat bising suasana, akan tetapi dengan speaker tersebut lalu lintas dan kendaraan menjadi lebih teratur. Karena instruksi yang diberikan cukup jelas. “Bagi kendaraan truk yang mengangkut rombongan dari ujung berung harap belok kiri”!! “Bapak baju motif monyet Ragunan jangan fashion show di tengah jalan Pak! Ayo cepat menyingkir ntar tertabrak Busway”! Begitulah kira-kira instruksi dari petugas, persis kayak tukang jamu di alun-alun pasar klewer. Memasuki gerbang Ragunan cukup dengan membayar lima ribu rupiah saja, berharap ada kembalian 500 perak, karena biasanya Cuma 4500. Ternyata yang lima ratus dipakai untuk sumbangan sukarela untuk PMI DKI, yo wislah amal 500 perak. Begitu emasuki pintu utama sudah ada mobil Metro TV yang siap-siap mengadakan liputan. Pada hari liburan seperti ini, banyak stasiuun televisi yang berkeliaran untuk mengadakan liputan. Berharap mendapatkan liputan tentang liburan yang murah meriah mungkin. Dan isinya memang kebanyakan tidak lepas dari liburan yang murah meriah di Ragunan, serta isi berita yang membahas tentang warga Jakarta yang membutuhkan tempat liburan yang murah meriah dan ruang terbuka hijau. Dari stasiun TV satu dan Stasiun TV yang lain isinya tidak lepas dari rekreasi murah di Jakarta yang kian terbatas. Ya wis lah.
Masyarakat dari penjuru jabodetabek datang berduyun-duyun bak air bah. Dari tua, muda, anak kecil, bayi, balita, nenek-nenek, gadis, perjaka, emak-emak, remaja yang beranjak gede datang tumpah ruah dari berbagai sudut kota dan kampung. Ada yang membawa mobil pribadi, motor, naik angkot, carter angkot dengan membawa satu rombongan dangdut, ada yang naik busway yang pada hari itu isinya banyak anak-anak kecil mirip bis darmawisata anak TK. Selain itu ada yang bela-belain membawa truk, menumpang pick up dengan tutup terpal (amit-amit datang dari kampung mana tuh), ada yang datang berdua-duaan yang didominasi ABG-ABG yang lagi kasmaran, ada yang sendirian seperti aku (kayaknya dari ribuan orang cuma aku yang datang sendirian). Hampir semua orang datang dengan keluarganya masing-masing, kerabat, handai taulan, pacar, sohib dan hampir tidak ada yang soliter. Yang pasti hampir seratus persen pengunjung adalah pribumi asli. Dari penampilannya yang sederhana dan kadang ada yang sedikit ngaco dalam pemilihan baju. Nampak sekali walaupun di Jakarta masih banyak jemuran yang berjalan-jalan di tempat keramaian. Hal ini selalu menjadi pengamatanku, karena aku gemar mengamati fashion yang nggak nyambung jek. Maklum anak pedagang konveksi.
Suasana semakin siang semakin ramai, Ragunan yang pada bulan Ramadhan kemarin kayak kuburan sekarang malah lebih kayak karnaval 17-an. Iring-iringan mobil diperkenankan masuk ke areal Ragunan. Karena apabila parkir di luar maka nggak ada lahan. Sehingga nampak semrawut antara pejalan kaki dan rombongan-rombongan dangdut yang beriringan. Hampir semua pengunjung yang datang membawa bekal dari rumah, memang sudah niat untuk makan di alam terbuka kali. Para penjaja minuman, penjual tiker harga 5000-an, tukang foto, asongan, delman, penjual kerak telor, pecel, mainan anak dan pedagang lainnya tumpah ruah menambah keramaian Ragunan siang itu. Dengan susah payah aku keliling-keliling mencari lokasi yang sesuai untuk ngadem sambil membaca buku. Tempat yang biasanya aku pakai sudah dikapling sama orang. Terpaksa muter cari tempat yang lain. Akhirnya dapat juga tempat di pinggir danau dengan view yang lumayan shady. Sayangnya banyak sampah-sampah berserakan di sekitar lokasi yang kupilih, dasar Indonesian. Niat mengotori alam nggak usah jauh-jauh ke Ragunan, pikirku agak mangkel. Maklum, tak jauh dari tempat aku duduk berserakan bekas mizone, aqua, plastik-plastik yang nggak jelas, dan sampah-sampah bekas makanan menambah kesan jorok banget. Sayangnya memang nggak ada tempat sampah di sekitar situ, siapa yang pantas dipersalahkan??
Dengan sedikit dongkol aku mulai membaca tentang “easy green living”nya valerina Daniel. Cukup ringan dan menginspirasi. Apalagi membacanya pas di alam, jadi otakku menyerap lebih cepat informasinya. Sambil sesekali mengamati tingkah laku orang-orang yang nampak kegirangan dan heboh turun dari angkot carteran yang parkir tidak jauh dari tempatku berada. Dari wajah-wajahnya kayaknya mereka berasal dari pelosok Tangerang nunjauh di sana. Nampak anak kecil yang bersorak-sorak kegirangan karena hendak melihat gajah. Ada iklan lewat pikirku. Hampir 2 jam aku membaca dengan tenang dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar, Cuma sekilas kalau ada yang mendekat aku mencuri pandang. Siapa tahu ada yang bening lewat.
Mendekati pukul 12 siang, serombongan orkes dangdut dengan bahasa yang aku nggak ngerti bahasanya apa, datang dan menggelar tikar di tempat aku membaca. Dasar nih orang-orang, nggak tahu kalau aku lagi pengin membaca dengan tenang kali ya. Jangan harap aku pergi, begitu pikirku. Toh, aku yang datang duluan. Dengan tertawa berha ha hi hi mereka menggelar tikar untuk potluck (makan maksudnya) dengan cueknya aku tetap membaca dan berlagak tuli. Hampir satu jamanan mereka menghabiskan makanannya dan kemudian pergi bersiap-siap balik ke alamnya. But sialnya, bukan ninggalin makanan but ninggalin sampah di bekas mereka makan. Amit-amit nih orang kampung. Nggak tahu etika sama sekali, batinku dalam hati. Dalam agama sudah diajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Aku yakin mereka tahu but aplikasinya nol besar, dengan pedenya meninggalkan sampah-sampah plastik dan makanan, serasa dunia milik nenek moyang mereka yang lain cuma kost dan kontrak. So mereka bebas melakukan apa saja. Pheewww. Geram bercampur mangkel melihat mentalitas bangsa kita yang ibarat mental warung tegal. Habis makan langsung ditinggal.
Setengah jam kemudian, sudah agak reda dongkolnya. Kemudian datang sepasang anak muda yang sedang kasmaran. Dari raut mukanya kelihatan banget lagi memadu kasih. Romeo and Juliet datang nih pikirku saat itu. Dengan gaya yang sok mesra, bikin aku eneg. Nih, mau PDA di depanku. Amit-amit deh. Apa nggak ada tempat lain ya yang sepian dikit, kuburan kek or kamar mayat kek, biar puas! Masak PDA di tempat ramai kayak gini. Dan parahnya, pluk! Nyampah lagi, ninggalin sampah sambil berlalu menjauh. Pingin kusambit rasanya pakai botol minumku. Dasar, nggak tahu apa kalau aku lagi baca easy green living. Pasrah, aku juga males ngambilin tuh sampah, ntar aku dikira pemulung lagi. Setelah itu datang keluarga dengan 2 anak kecil-keci, seorang bapak yang sedang mendorong kereta bayi yang isinya bukan bayi tapi makanan dan istrinya yang sedang hamil! Hebat Bro, anak-anaknya masih mungil-mungil istrinya sudah hamil tua. Hebat nih pejantan, pasti orang kaya dan hartanya melimpah ruah 7 turunan. Yo wislah, sutra bukan urusanku. Syukurnya, mereka nggak nyampah di depanku, karena aku keburu sholat karena udah jam 1. Cari musholla dan tobat sudah ngata-ngatain orang walau dalam hati saja (kayak lagunya warna).
Sehabis sholat lanjut baca, but cari lokasi yang lain deh. Sambil cari lokasi yang lain, mataku gerilya siapa tahu ada ilham untuk dikomentari atau sekedar jadi bahan tulisan di blogku. Akhirnya kutemukan tempat di pinggir danau, lumayan buat nyantai. Nggak terlalu bising dan nggak banyak orang lalu lalang di depanku. Gimana mau lalu lalang lha wong depanku danau, emang putri duyung or neptunus si dewa waduk. Waduk di depanku untuk pemancingan sehingga tidak ada kapal fantasi yag lewat atau becak air yang wira-wiri di depan batang hidungku, Cuma sesekali bapak-bapak sliwar sliwer di depanku. Nggak jelas mau ngapain, mau mancing kok nggak bawa pancingan, mau jalan-jalan doang kok ya di kolam pemancingan. Emboh lah. Lanjut baca pikirku. Baru setengah jam membaca kepalaku sudah berputar-putar, datang nih penyakit lama. Kelelahan akibat membaca. Kalau dipaksakan bakal nggak bisa konsen babar blas, yo wislah ngalahin pulang saja. Toh, hari dah mau hujan. Pulang, makan dan tidur, begitu pikirku kala itu.
Sambil berjalan pulang kupasang music dari handphoneku. Biar nyantai dikit pikirku. Sambil kuedarkan pandang, siapa tahu ada ide yang muncul untuk menulis. Sejauh mata memandang ribuan orang hilir mudik dengan barbagai macam aktivitas, dan kebanyakan adalah niat makan di alam bebas. Dan lagi-lagi sampah ada di mana-mana. Ampun deh, gimana ya biar nggak nyampah, perlu reward and punishment kali ya. Banyak pasangan muda, remaja-remaja yang beranjak gede yang melakukan PDA, ada yang belai-belaian (iiihhh), ada yang tiduran di pangkuan, ada yang rangkulan, ada yang foto-foto dengan pose norak jaman baheula yang mirip-mirip dikitlah sama posenya siamang, ada yang nangkring di atas pohon di area primata (persis kayak primatanya), ada yang mojok di taman dan berbagai macam pose aneh lainnya. Lagi-lagi PDA, sedangkan disitu banyak anak-anak kecil berkeliaran. Pheewwww.
Semakin dekat pintu keluar, maka lautan manusia semakin tampak. Kesempatan untukku untuk jeprat-jepret dengan kamera starku. Cari moment-moment yang bisa aku jadikan tulisan. Aku agak jengah dengan namanya sampah yang bertebaran dimana-mana. Piknik sih Piknik, apa harus bawa sampah juga gitu lho. Sudah membawa rombongan sirkus, masih nyampah lagi. Dan kebanyakan orang-orang memang cuek untuk membuang sampah di jalan. Nggak peduli mau cantik, jelek, pria wanita, anak-anak, kelihatan terpelajar atau nggak sekolah, miskin kaya, semuanya pada cuek buang sampah sembarangan. Pikirnya, toh ntar ada yang bersihin. Yang parahnya, banyak rombongan dangdut yang nyantai makan-makan dengan dikelilingi sampah. Nah lo, bukannya risih malah asyik makan dan tiduran. Menghayati peran atau karna sudah bebal. Emboh lah. Kamera HPku nggak lepas-lepas dari jepret sana dan sini. Baru sekali ini aku lihat macet di dalam kebun binatang. Mau parkir macet, mau keluar juga kesulitan. Enaknya kayak aku nih, punya kost dekat ragunan. Nggak usah bawa mobil cukup jalan kaki. Kepikiran juga nih untuk part time jualan the botol kali ya. Bisa untuk beli pulsa unrungnya. He…he….he…
Menjelang Ashar aku akhirnya bisa keluar dari gerbang dengan selamat, cuma kuku kakiku ada yang terluka gara-gara keinjek ibu-ibu yang jalan nggak lihat-lihat, dimaafin deh. Lagi lebaran. Banyak sekali pengamatan yang aku rekan di memoriku hari ini. Memang masih banyak yang harus diperbaiki dari bangsa ini, masalah kesadaran akan kebersihan memang harus selalu dibangun sejak dini. Minimal dari keluarga, atau sekarang dari diri sendiri dulu. Kita memang berhak menegur orang lain, alangkah lebih baiknya kalau kita menegur dengan keteladanan, sehingga semua bisa jadi lebih baik. Alam bukan hanya untuk dinikmati akan tetapi kita wajib menjaga kelestariannya, semoga alam tetap mau bersahabat dengan kita dan kita akan menjadi salah satu bagian dari alam yang tak terpisahkan. Hiduplah harmoni dan alam akan mendukungmu.

Sub episode dari Ragunan

Aku menyebutnya sebagai sub episode dari babak Ragunan karena merupakan episode yang berulang dari pengalaman hidup aku. Hanya pemainnya yang berbeda. Sub episode pertama pada saat aku baru seminggu di Ragunan dan Sub episode kali ini pada hari ke-2 lebaran, dimana Ragunan menjadi tempat wisata favorit keluarga karena murah dan terjangkau.
“Ragunan bakal ramai banget, lho!” Kata hampir semua orang yang tahu kalau kami mau keragunan. Karena acara potluck diragunan sudah direncanakan jauh-jauh hari, so the show must go on. Rame malah asyikkan, daripada sepi kayak kuburan. Mendingan rame sehingga kita bisa lihat tingkah laku manusia yang beraneka ragam dan diciptakanTuhan dalam kondisi yang sebaik-baiknya. Berbekal patungan, aku, Bejo, likah berbelanja untuk persiapan potluck. Menu favorite kami adalah telur dadar, seafood dan bakso. Dan utuk proses pengolahan adalah bagian aku yang ketiban sampur, soalnya aku yang tidak sedang on duty. Yo wis lah nggak papa, belum tahu kalau aku adalah murid dari Rudi Hadisuwarno , eh keliru maksudnya Rudi Khairuddin si jago masuk yang beken itu. Dengan modal bumbu Royco akhirnya jadilah sebuah mahakarya masakan mie goreng bertabur udang bakso dan telur dadar. Thit is it…..indomie telur bertabur udang bakso ala chef Adi Quinn! Biar ancur yang penting pede.
Dari BSD by taksi, modal dikit soale kalau naik angkot bisa 4 kali ganti (males). Selisih 50 ribuan yang penting cepat dan nyaman, tul nggak. Lha wong patungan juga. Sing penting Happy. Sampai Ragunan sudah menjelang siang, but memang benar lho, rame abis, sampai ada yang bawa truk segala. Sebagian besar memang didominasi oleh pasangan muda dengan anak-anak kecil mereka. Kebiasaaan kita memang bercanda dan mengoceh sepanjang jalan. Maklum, mumpung belum terikat ama KUA, puas-puasin saja ngegombalnya, jepret sana, jepret sini, bergaya di tengah kebon or nampang di kandang Si amang (ini bukan nama orang lho). Pheewww, panas dan pegel, soalnya mengelilingi raguanan lumayan gempor. Niatnya sih biar cepet laper juga, supaya potlucknya sukses abizz.
Jam 12 adalah waktu yang ditunggu-tunggu, time for lunch. Lets begin our party under tree. Karena kita terkenal hemat bijaksana so cuma beralaskan Koran (hemat opo miskin yo, beda tipis). Mari kita mulai potlucknya! Usut punya usut ternyata sebagian hidangan kita adalah karbo lauk karbo, nasi lauk mie yang bejibun dengan kerupuk ditambah sambil kreasi cheft Bejo belibis plus saus tiram…hmmm yummy, si Okti dengan sambel yang super pedesnya yang bikin kayak racun di lidah. Phewww….Untung masih ada bakso, telur, udang sama ikan asin. So karbo lauk karbonya sedikit berkurang.
Kloter pertama makan sudah usai, but makanan masih banyak cing. Niat lanjut ke kloter kedua, ntar siang menjelang sore. Jam 13.00 time for pray, but noraknya, Bejo, arif and me nggak bawa sarung. Tuh ketahuan nggak inget sama Tuhan pas senang-senang. Dengan pe denya pakai celana ¾ semua. Ancurnya lagi si Arif dan Bejo celananya kembar. Dasar, itulah risiko beli barang murahan, banyak duplikatnya. Beda sama celanaku yang eksklusif asli Te Esan Ramayana. Yess!
Pas lagi hanging out, mendadak hujan gerimis dan kemudian panas, so alternative yang terbaik adalah lari menyelamatkan diri. Kata Si Okti dia adalah produk anti air so musti diselamatkan dari kerusakan, Si Likhah yang anti mabok (antimo kali), ngacir juga apalagi aku yang anti karat he..he..he… So, perjalanan kita berakhir di kost-kosantku. Ngadem sambil leyeh-leyeh (maklum si Likhah sama Bejo habis ronda di Eka, sudah ronda pake angkat-angkat lagi, lengkap dech sengsaranya). Sambil leyeh-leyeh sama sortir foto yang mau di upload, biasa sich a little bit show off. Kapan lagi kalau nggak sekarang keburu tua!
Episode sub ragunan mesti diakhiri seiring cahya tembaga semburat di barat, setelah hujan yang mengguyur akhirnya waktu jua yang memisahkan kita, ceilee sok melankolis. Ada banyak sub episode yang telah kita rencanakan, ada sub Epidose TMII, Monas, Museum, Bogor, Mekarsari, Bandung, dan kepulauan 1000. Ntar kapan akan terjadi yang penting mimpi dulu bisa jalan-jalan lagi, murah, meriah dan berkesan. So, lets we traveling……..

Ragunan, 11 September 2010

Harvard VS Stanford


Seorang wanita dengan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang. Mereka turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. Sesampainya di sana, sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Harvard.
“Kami ingin bertemu dengan pimpinan Harvard,”kata sang pria lembut. “Beliau hari ini sibuk,” kata sang sekretaris cepat. “Kami akan menunggu, kata sang wanita.” Selama empat jam, sekretaris itu mengabaikan mereka dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Namun, nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustasi, dan akhirnya memutuskan untuk melapor kepada pimpinannya. “Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya kepada sang pemimpin Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa senangnya sudah mulai muncul.
Sang pimpinan Harvard, dengan wajah galak, menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata kepadanya,” kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard, dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkah? Tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap. Sang pimpinan Harvard tidak tersentuh. Wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut.
“Nyonya,” katanya dengan kasar,”Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah seperti kuburan.”
“Oh, Bukan,” sang wanita menjelaskan dengan cepat. “Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.” Sang pimpinan Harvard memutar matanya. Dia sekilas menatap baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah Gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung? Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang pimpinan Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh kepada suaminya dan berkata pelan,”Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?” Suaminya mengangguk. Wajah sang pimpinan Harvard tampak bingung.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana, mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas kelas atas di Amerika Serikat.
Silakan anda menafsirkan sendiri apa makna yang terkandung dalam cerita tersebut. Andreas Harefa mencoba menyorot dari sudut pesona baju, dimana pesona baju mampu mengaburkan seseorang dari keadaan yang sebenarnya. Atau anda punya penafsiran tersendiri, seperti halnya kita seharusnya mencoba berpositif thinking terhadap segala peristiwa, mencoba memandang bahwa kita tidaklah lebih baik dari orang lain, mengambil sikap tawadhu dan rendah hati walaupun gelar kita lebih panjang dari nama kita or whatever, its up to you……
(From Mindset Therapy, karya Andreas Harifa)

Rabu, 08 September 2010

Tiada alasan untuk arogan



Memang setiap orang diciptakan Tuhan dengan potensi-potensi yang berbeda, setiap manusia adalah unik dengan segala tipe kepribadian dan segala keinginan serta potensi masing-masing. Tuhan Maha Adil, setiap jiwa yang terlahir membawa potensinya tersendiri, membawa takdir dan masa depannya sendiri-sendiri. Setiap orang punya masa depan yang sudah tertulis. Membawa nasib yang membawanya kepada kemuliaan atau kehancuran hidup.
Membaca artikel tentang alam semesta (sebuah artikel motivasi dari email) membuat aku benar-benar tersadar, memang tidak ada yang pantas dibanggakan dan tiada ada yang pantas seorangpun untuk menjadi arogan. Apa yang pantas membuat kita menepuk dada? Apakah keberhasilan kita mencapai target, atau berhasil menjadi the best employee or jadi pemenang dalam wawancara kerja. Atau mungkin kita layak sombong karena berhasil menjadi pembicara? Atau kita memang layak sombong karena kita mendapat karier lebih cepat dibanding teman yang lain, atau segudang prestasi yang membuat kita menonjol?
Seseorang menepuk dada sah-sah saja, karena memang prestasinya segudang. But, layakkah kita kemudian merendahkan orang lain? No way! Memang bukan sepantasnya kita arogan, kita hanya makhluk lemah kecil tak berdaya yang numpang di atas bumi Allah yang super dahsyat besarnya. Memang kita dibandingkan alam semesta raya sejagat dunia akhirat is nothing! Layakkah kita menjadi arogan dengan sedikit ilmu yang notabene mensintesa dari ilmu orang lain, yang notabene kita sekedar tahu dan sekedar belajar lalu menghapal. Just it, no more!
Kita kadang nggaya karena bisa punya Hape Backberry terbaru, bisa mengoperasikan dengan merem. But, Cuma pakai doang Bro! Nggak bisa create sendiri. Tinggal beli doang, beres. Bisa punya laptop dan mengoperasikan system yang canggih, but lagi-lagi Cuma makai doang bisanya, kalau error dikit langsung bingung panggil ET. Duh, cumi (Cuma mijit-mijit keybord doang), yang lain nggak bisa cing. Bangga jadi pimpinan, menepuk dada karena berprestasi? Trus merasa berhak menghakimi yang lain karena tidak secerdas dia. Pantaskah, apa yang pantas dibanggakan karena saat ini pun Tuhan mampu mengambil kecerdasan kita selamanya. Naudzubillah.
Aku memang bukan apa-apa, belum ada karya yang bisa aku persembahkan buat manusia. Sehingga tak berhak aku sombong dan takabur. Aku jadi malu sendiri ketika kadang aku merasa lebih baik dari temanku sekerja, merasa lebih baik dari teman kecilku dulu, merasa lebih mulia dibandingkan profesi yang lain. Semoga Tuhan mengambil rasa angkuhku dan sadarkan aku akan kesombonganku yang akan mencelakanku lambat laun.
Tidak ada yang berhak sombong selagi kita kemana-mana masih membawa kotoran. Secantik dan setampan apaun dia ternyata kemana-mana masih mengantongi kotoran di perutnya, sekalipun miss universe pun. Cantik, tampan, cerdas, kaya, mulia, adalah semua titipan. Ingatlah akan kemegahan jagat raya, yang sedebupun kita nggak nyampai besarnya apabila kita dibuat dalam skala, tidak layak untukku menepuk dada. Jadikan aku pribadi yang selalu merasa haus akan ilmuMu ya Allah, tuntunlah aku dalam kebahagian menjadi orang yang rendah hati, tawadhu dan selalu ingat bahwa aku akan mati.

Potluck

Sebuah istilah yang tidak umum dikuping, makanan apa tuh potluck, singkong diparut or ditumbuk? Getuk kali? Yups Benar!! Maksudnya benar-benar kacau. Diantara teman-temanku, istilah potluck hanya sedikit yang paham. Masalahnya istilah ini aku tahu ketika sedang les inggris di Semarang dalam program Kippi. Yah, Potluck dalam bahasa lokal artinya ngumpul, bawa makanan, makan bareng-bareng. Misalnya si Partun bawa Telo, si Paijo bawa cenil, si Trimbil bawa gemblong, si Camelia bawa rengginan dan si Bejo bawa Suweg (amit-amit makanan kampung banget), janjian jalan bareng di suatu tempat dan kemudian ngumpul dan makan bareng saling tukar makanan, satu rasa sama rasa, Begindang!
Alangkah menyenangkan apabila bisa potluck ditemenin roti Holand, Pizza Hut, setangkup Bread Talk, sekotak jaico, segelas rootbeer, sepiring anggur hijau, tempura dan sebotol coca cola zero sugar. Bakal kenyang dan habis itu ngantuk, dijamin deh. Masalahnya, ini niat potluck apa pesta kebun (sama-sama tempatnya di ruang terbuka sich). Kalau mau niat potluck, kayaknya pelu makanan yang enak, murah dan terjangkau, itu akan lebih baik. Contohnya apa,tidak lain tidak bukan ya Gorengan! Murah meriah, renyah, gurih dan dijamin tidak sehat.
Dalam potluck tidak hanya ngumpul dan makan intinya, akan tetapi ada yang lebih dari sekedar ngemil. Dengan potluck, akan terjalin persahabatan yang akrab, akan ada komunikasi yang lancar dan ada ikatan hati yang kian menyatu. Tinggal kita yang harus menjaga etika pergaulan dan etika komunikasi agar potluck bisa lebih membawa kesan. Semoga esensi potluck bisa lebih berarti, tidak berhenti sampai ritual makan-makan saja. Yuk, kita bikin potluck lagi bro…

The Art Of Doing Nothing...



Doing Nothing, bagi sebagian orang memang saat yang menyenangkan, kita bisa duduk melamun atau duduk di taman sambil melihat orang yang lalu lalang, atau ngebluk seharian dengan alasan save the energy (kayak ular habis menelan kambing bulat-bulat tuh!) . Doing Nothing, dalam konsep motivasi sungguh sebuah sia-sia. Waktu yang habiskan dengan tanpa tujuan sungguh sebuah pemboroosan usia yang seharusnya dihindari. Memang semuanya kembali pada tiap-tiap pribadi, ada yang wajar waktunya hilang dan tidak produktif atau ada yang sayang sekali kalau sedetik waktunya sia-sia nggak jelas gitu.
Memang kita diberi modal yang sama, 24 jam sehari, no discount! Semuanya pas 24 jam sampai detik-detiknya pas, Tuhan tidak bakalan korupsi. Tapi apa yang dihasilkan manusia pasti akan berbeda-beda banget, ada dalam sehari semalam ia mampu menghasilkan mahakarya yang menghebohkan dunia, ada yang mampu mengkoordinasikan orang untuk membuat karya yang spektakuler, ada yang mampu berlomba dan menjadi pemenangnya, ada yang berusaha tetap juga kalah dan ada yang menangisi kegagalannya atau bersorak gembira karena ia telah jadi pemenangnya. Atau sebaliknya dalam 24 jam saja hanya mampu mengurus urusannya sendiri atau bahkan ironis lagi dalam 24 jam tidak mampu menurus dirinya sendiri, sungguh tidak becus!
Doing Nothing, ada yang enjoy dengannya atau ada yang terpaksa dengannya karena memang tidak ada yang lain yang bisa dikerjakan. Dalam doing nothing sebenarnya ada yang dapat kita lakukan, muhasabah, observasi, merenung, berpikir dan mencari ilham. Sambil doing nothing kita bisa berpikir dan memikirkan orang lain. Minimallah lebih baik dari pada doing nothing bener-bener doing nothing, jangan sampailah. Kasihan waktu kita.
Ketika masih di kuliah formal, pernah aku bercanda sama seniorku yang sama-sama aktivis (ceilee, sok aktivis), “Mbak, kayaknya waktu kita kurang ya, apa perlu kita bikin hari kedelapan,” minimal waktu kita ada yang longgar dikitlah. He..he..mimpi yang nggak bakal terwujud, intinya manajemen waktu yang kurang pas kali. Gimana nggak amburadul kuliah dari jam 8 hingga jam 4 (itu minimalnya loh, kadang sampai maghrib atau mulainya bisa jam 7 pagi, phewww), belum amanah di lembaga mahasiswa dari lembaga sospol, keagamaan, wirausaha, universitas, lembaga studi profesi, minat bakat de el el. Serakah memang, mumpung masih muda kale pikirnya, dan judul-judulnya semua tidak efektif!! Kapok sih tidak tapi itu pembelajaran yang penting! Hati hati dengan amanah kalau tidak bisa, jangan diambil, bukannya nggak mampu, takut yang lain nggak terurus. Misalnya urusan pribadi yang tidak terurus, jarang olahraga, jarang nyuci (cucian direndam 3 hari), jarang sterika, jarang ngaji, jarang baca buku. Sempit deh rasanya dunia. Pengalamannya sih banyak, but hati-hati dalam manajemen waktu.
So, akhirnya mau doing nothing atau doing everything, semuanya butuh pilihan, butuh pengorganisasian. Ada kalanya kita sibuk banget atau sekedar doing nothing juga nggak pa pa, yang penting ada perhitungannya dengan teliti. Semuanya terserah pada kita sebagai manusia yang mampu berfikir.

Smartly Chlothes
Aku selalu mendefinisikan diriku dengan orang yang kasual, santai dan tidak suka dengan yang namanya sesuatu yang berbau resmi. Nggak tahu kenapa, mungkin dari postur tubuhku yang segede kulkas sehingga risih kalau memakai baju yang formal apalagi berdasi. Dalam sebuah acara kegiatan mahasiswa tingkat nasionalpun cuma aku sendiri yang bela-belain pakai kaos tanpa kerah di dalam jas almamater. Nampak nggak sopan dan terkesan kampungan. Pas mahasiswa koleksi kemejaku Cuma 3 biji, itupun handmade alias jahit sendiri (maksudnya dijahit oleh penjahit) bukan beli jadi. Dengan badanku yang overweight banget pas mahasiswa membuat aku lebih nyaman kalau pakai celana kain yang kolor serta kaos oblong sama sandal sepatu. Aku paling males pakai yang namanya kemeja, kesannya gerah, sumpek, dan nggak bisa bebas apalagi pakai sepatu.
Kalau disuruh milih, aku paling ogah kalau pakai smartly chlotes, pernah pas ikut National Training Ledhership dan Entrepeunership (NTLE) di Brawijaya Malang sama panitianya dipaksa menggunakan smartly chlotes. Waduh rek, seumur-umur aku enggak pernah makai dasi. Kecuali dasi pada waktu SD doang. Berkelit aku ngotot kalau aku nggak punya dasi. Panitianya tetap memaksa kalau itu aturan dan mereka akan meminjamkan 2 biji (dua2nya untuk delegasi dari Undip yang terkenal agak males dandan). Ya sutralah, sudah bayar mahal dan jauh-jauh, ikut aturan aja toh 4 hari doang. Nggak enak juga sama peserta yang lain, masak yang lain necis-necis kita sendiri yang Nampak nglomprot.
Perilaku kekasualanku memang sungguh-sungguh di luar batas. Di kampus aku hampir jarang Nampak rapi, tampak semrawutlah. Uang kirimanku lebih banyak untuk makan sama beli buku. Untuk urusan baju, males aku. Nyadar kali kalau pakai baju bagus juga tidak nambah gantengnya. Pokoknya kuliah jauh dari kesan modis, Nampak kasual abis. Sampai konsul skripsipun aku cuma pakai celana kolor, kaos kerah dan pakai jaket untuk menyamarkan lekukan tubuh di sana dan disini. Wis pokoke amburadul. Pas KKN pun aku Nampak banget kayak buntelan kentut, rekor sampai 100 kg lebih. Masya Allah, persis kayak kulkas dua pintu. Konsekuensinya badan terasa berat dan gerah, so makin males pakai kemeja, kaos ajalah.
Moment-moment yang bersejarah saja yang mampu memaksa aku memakai kemeja dan celana bahan serta sepatu pantofel plus dasi. Pakai dasi sampai aku lulus mahasiswa bisa aku hitung momentnya, waktu SD, waktu ikut paduan suara di SMP, waktu NTLE, Waktu wisuda akdemik dan terakhir wisuda profesi. Selebihnya kayaknya nggak ada moment lagi. Skripsipun aku nggak pakai dasi, Cuma pakai kemeja, itupun karena aturan. Kalau nggak ada aturan, mungkin pakai kaos lagi ya. Dasar Bengal.
Istilah smartly chlotes aku tahu dari Miss Anna my English teacher di KIPPI, pada waktu itu dia mengomentari penampilan penampilan peserta. Dari 6 cowok, Cuma aku yang penampilannya tidak layak bagi seorang peserta pelatihan. Yang lain mendekati smartly dan bersepatu, aku masih kebawa budaya mahasiswa yang kasual walaupun itu sudah lulus. Pada waktu itu kalau ada mahasiswa yang pakaiannya smartly aku biasanya batin,”amit-amit deh, kuliah aja kok kayak mau melamar kerja ribet banget. Pas ada teman dekatku yang insyaf, berubah haluan dari casual menjai smartly di akhir-akhir kuliah (nggak tahu setan mana yang nyambet) sering aku isengi dengan kutarik-tarik bajunya hingga keluar dari celana. Aneh saja, yang biasanya casual jadi smartly, terus celana sama kemejanya yang udah jadul gitu, rasanya pingin narik keluar baju yang dimasukin ke celana. Maaf ya pren.
Pas ketika kerjapun aku paling males pakai namaya kemeja, but gimana algi. Untung di tempat kerja bajunya nggak dimasukkan ke celana. So, masih mendinglah daripada dimasukkan dengan kerja yang harus dorong sana dan dorong sini. Gerah banget. Dan baju kerja yang paling nyaman adalah ketika aku kerja di RS di daerah Tangerang, dimana bajunya mirip piyama buat tidur, kolor dan bahannya katun. Dengan kerja di tempat AC Nampak nyaman dan kalau malam tinggal bablas kalau mau tidur (soalnya bajunya kayak baju tidur). Dengan baju yang longgar dan nyaman, kerja jadi gesit lari sana lari sini, dorong sana dan dorong sini, genjot sana genjot sini (CPR maksudnya). Sipplah.
Aku sempat kebakaran jenggot pas aku diterima di tempat kerja yang baru, dimana pakainnya gaya eksekutif muda yang smartly habis, dimana syarat penampilan adalah nomor wahid. Pheew…hitung punya hitung selidik punya selidik aku Cuma punya 1 celana kain, dan 2 potong kemeja lengan panjang dan sepatu pantofel yang aku beli 5 tahun yang lalu, bisa bayangin leceknya tuh sepatu. Sempat stress dulu nyari baju, untung badanku sudah mulai kempis (kalau gendut banget nggak keterima kali ya di tempat kerjaku yang baru, untung aku diet). Akhirnya dengan membobol celengan mulai deh belanja baju smartly di swalayan, pas belanja bingung banget soale nggak biasa pakai baju smartly, sampai perlu bawa temen buat nyakinin aku kalau aku pantes. Nggak pede soale. Sebulan di tempat kerja baru kerjaanku mengamati temen-temen cara pakai dasi, cara matchingin warna, sampai browsing diinternet bela-belain biar kagak norak. Susah juga ya jadi pegawai kantoran, punya baju ijo dasinya nggak matcing, baju item cari dasinya susah, punya dasi coklat but nggak ada bajunya. Duh, mau tampil aja modalnya selangit. Untung kerja di tempat AC, dingin jadi nggak keringetan.
Selamat datang di dunia smartly, lama-lama nyaman juga walaupun tiap hari naik turun dan antri di Busway. Paling suka kalau pas hari Jumat, pakai batik. Nampak nyantai, dan Indonesia banget gitu. Semoga ada kebijakan yang patriotik yang mengharuskan tiap hari pakai batik, tentu langsung tak bela-belain hunting batik di Solo yang bagus dan tentu saja murah. Walaupun aku tiap kerja Nampak smartly, but sehari-hari tetap casual, kaos celana ¾ sama topi plus tas ransel. Itulah cirri penampilanku. Nggak penting merk baju yang penting aku nyaman dan nggak norak-norak banget. Yup!

Masih ada kata lebih dari sekedar suka

Kubuka laptopku di tempat kerja pagi itu, setelah berdoa mengucap syukur aku buka emailku di yahoo. Aktivitas rutin yang kujalani setiap pagi sebelum memulai aktivitas kerja. Ada email baru yang belum terbaca, yups..email motivasi, aku suka itu. Email dari temanku yang senantiasa memforward email motivasi yang ia dapat. Kali ini membahas tentang perbedaan suka, sayang dan cinta. Sederhana memang akan tetapi sungguh mengena sekali penjelasannya.

Membahas tentang suka, sayang dan cinta setidaknya membuka mataku tentang arti pengorbanan bagi seseorang, ada yang enggan berkorban bagi orang lain karena perasaannnya hanya sekedar suka ataupun ada yang mau berbagi beban dengan orang yang dicintainya karena ia mendefinisikan cinta pada arti yang sesungguhnya. Sebuah vocabulary baru bagi aku, dimana sekarang aku bisa mendefinisikan tentang ketiga kata tersebut dengan jelas.

Aku berpikir, sudahkah aku merasakan suka, sayang dan cinta dengan jelas. Kadang-kadang masih terasa absurd. Aku merasakan cinta dan sayang sekaligus adalah dari kedua orang tuaku yang tulus memberikan keduanya ikhlas dan tulus. Sedangkan yang lain mungkin masih pada tahap suka dan sayang saja. Aku pernah merasa bahwa aku memang hidup sendiri, tidak ada yang lebih dari sekedar sayang padaku. Sampai aku merasa memang waktuku hanya untuk diriku saja, karena dengan siapa aku berbagi lagi. Tidak akan menguntungkan.

Seiring waktu berjalan, aku merasa masih banyak orang yang sayang padaku. Mereka mengungkapkan dengan cara yang berbeda, dengan perhatian, dengan motivasi dengan berbagai upaya agar aku bisa tersenyum, dengan hiburan sehingga aku tertawa dan banyak lainnya. Sahabat, teman, rekan kerja berusaha mengimplementasikan sayang dan perasaaan suka mereka dengan cara yang berbeda, dengan cara yang mereka pilih sendiri.

Membuat aku bahagia dengan pengalaman baru adalah sesuatu wujud implementasi rasa sayang yang bisa aku baca. Sebagian temanku tahu apa yang aku mau dan berusaha mewujudkan keinginanku tersebut, keinginan yang kadang sederhana akan tetapi buat aku bisa menjadi benar-benar bahagia. Keinginanku yang aku ungkapkan dengan sambil lalu kadang diartikan sebagi keinginan yang serius dari orang lain, membaca keinginan seseorang memang butuh pertautan hati yang erat, ibarat bluetooh gampang conectlah.

Aku percaya mereka sayang padaku dan aku memang berharap bahwa rasa itu hanya sekedar sayang tidak lebih dari itu. Saat aku berharap bahwa aku bisa melihat panda, seseorang dengan baik hati mengantarku melihat panda walaupun hanya seekor beruang hitam yang seram yang aku temui (lumayanlah), ketika keinginanku sejak kecil ingin melihat Dufan, akhirnya mimpi itu jadi nyata. Ketika aku ingin all you can eat, seseorang membuat mimpiku jadi nyata, ketika aku ingin sebuah pengalaman baru, seseorang berjanji hendak mewujudkannya. Allhamdullilah.

Memang indah sebuah ketulusan, aku berharap ketulusan itu memang murni tulus dan bukan sebuah rekayasa psikologis dalam sebuah perilaku. Aku berharap bahwa apa yang aku lakukan dan orang lain lakukan padaku menjadi sebuah karunia dari Tuhan dan berharap manfaat yang sebesar-besarnya. Sayangi dan cintai Saudaramu dengan tulus dan apa adanya. Niscaya keindahan surga terlukis di jiwa.

Bukan Sekedar All You Can Eat


Bukan sekedar All you Can Eat

Bertemu sahabat lama adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Ibarat membuka lembaran lama yang hampir terlupakan oleh aktivitas kerja yang begitu-begitu saja. Iftor adalah suatu moment untuk mengenang kembali saat saat indah ketika masih menjadi mahasiswa di sebuah kota kenangan, kota pantai Semarang. Mengingat memori yang sebenarnya sungguh berharga dalam perjalanan sejarah hidup manusia. Sebuah moment yang akan terus diingat hingga akhir hayat nanti.

All you can eat, hmmm….yummmi, apalagi kalau gratis, sungguh mengeyangkan. Ada yang lebih dari sekedar all you can eat itu, walaupun sebenarnya niatnya nggak pingin rugi so makan sebanyak-banyaknya hingga perut membucit, its okelah. Modal BS..BS.. yang penting terpuaskan. Mau makan udang sampai pingsan bisa, mau bakar shabu-shabu sampai senep, juga bisa or mau minum orange juice sampai over hidrasi sah-sah saja, aslkan satu…mbayar! It must!

So, pada moment buka puasa plus jalan-jalan bersama ini, sungguh sebuah moment yang indah bagi single-single yang belum pada laku ini (Aku, Bejo, Okti, Harni, Kiki, Missing Nana soalnya dah keburu pulkam), karena jarang-jarang bisa kumpul, makan, ngerumpi, ngegossip tentang masa lalu dan masa datang yang belum tentu jelas. Hanamasa Karawaci sebagai sejarah part 2 iftor di Jakarta kali ini, dimana seminggu yang lalu habis-habisan kita pamer di facebook dalam episode kecil D Cost Blok M Square, antara ngantri dan dikerumuni bak artis (maksa ya judul epiosdenya). Buka puasa part 2 ini lebih beruntung, soalnya kita nggak perlu antri desak-desakkkan hingga kaca hampir rubuh di depan de cost, soalnya kali ini dengan sedikit modal (100 ribu cing) untuk all yaou can eat , kita bisa makan sepuas-puasnya aneka makanan khas negeri oshin seperti sushi, yakiniku, shabu-shabu, bakso ikan, bakso tahu, udang, dan makanan lain yang aku nggak tahu namanya. Yang penting kenyang, sampai si Bejo bela belain cari WC supaya nggak rugi-rugi banget katanye, habis passing stool lanjut lagi, amit-amit kenyangnya. Aku sendiri habis 6 gelas minuman. Phewww……..

Bukan sekedar all you can eat, yang penting kumpul-kumpul silaturahminya, bagi-bagi kisahnya. Dan buat temen-temen ditunggu potlucknya di ragunan Zoo ya pada lebaran hari ke-2, Okti jangan lupa bawa Nasi ya, Jo, harni, Likah ayo kita kunjungi saudaramu di pusat primata,,,. Mumpung masih pada perjaka dan pada gadis, manfaatin aja yuk selagi ketemu dan selagi sehat dan selagi punya uang dan belum muflish (alias bangkrut). That the point….

NB : Untuk Okti, Nana, Bejo, Kiki, Harni, Lika….keep in touch ya, buat temen2 alumni semarang yang lain, ayo gabung, kutunggu ya….

Si Komo

Si komo di Jakarta

Jakarta, sebuah kota metropolitan yang terbesar dan terpadat penduduknya di Indonesia. Sebuah artikel menyatakan bahwa jumlah penduduk Jabodetabek adalah setara dengan jumlah penduduk 4 negara yaitu Australia, Singapore, Brunai dan Timor Leste, dimana jumlah keempat penduduk 4 negara tersebut apabila dijumlah mencapai 26 Juta, sama dengan jumlah penduduk Jabodetabek.

Semrawut, amburadul, panas, polusi, bising, jarang air, macet, kriminal, gelandangan, kemiskinan, sampah dll adalah segudang persepsi yang aku bangun sebagai antisipasi agar aku tidak tinggal di Jakarta sekitar 3 tahun yang lalu. Males banget tinggal di Jakarta dengan segala kesemrawutannya, bikin stress. So, aku berjanji dalam hati untuk tidak tinggal di kota Jakarta setelah aku keluar dari SOS. Amit-amit dech batinku.

Ternyata, kini semua berubah. Aku jadi salah satu urbanisator yang turut membuat Jakarta tambah semarawut sepanjang masa. Fiuh, tekadku untuk menjauh dari Jakarta ternyata kandas, aku terdampar di Jakarta pula dalam episode alkes dan Ragunan ini. Ternyata upayaku mencari sebutir nasi membawaku sampai Jakarta pula. Memang sebuah cerita yang tidak terduga.

Dari sekian banyak persepsi negatifku, memang tidak semuanya benar tentang Jakarta. Kalau yang benar-benar nyata dan menyebalkan banget adalah karena si Komo yang gemar jalan-jalan di Jakarta hingga membuat macet di Jakarta. Ampun dech, kalau nggak macet nggak Jakarta namanya. Itu slogan warga Jakarta yang sudah resisten dengan macet karena sudah menjadi makanan sehari-hari. Bayangkan jam 6 pagipun yang idealnya jalanan sepi sudah macet di daerah mampang hingga kuningan. Yang lebih parah lagi, masak macet jam 11 malam di daerah kuningan. Kok masih ada makhluk-makhluk berkeliaran tengah malam yang membuat Jakarta masih macet (termasuk aku ding), seharusnya jam segitu mah sebagian orang sudah ngandang dan berlayar di pulau kapuk. Aneh ya, gimana tidak suntuk jam 11 malem, capek habis bukber di Mall of Indonesia Jakut sampai jam 11 malem jalanan macet. Hebat ya si Komo.

Mungkin pak Fauzi Wibowo juga turut andil bikin macet dengan slogannya Jakarta untuk semua yang awalnya berupaya menjegal lawan politiknya dengan cara mengedepankan keanekaragaman (soalnya PKS waktu itu homogen banget), karena Jakarta untuk semua makanya pada datang semua tuh semut-semut yang mencari gula di Jakarta. Coba kalau slogannya diganti Jakarta untuk betawi saja dan hanya untuk orang-orang yang KTPnya Jakarta asli, pasti Jakarta tidak sejenuh ini.

Sampai kapan si Komo akan pindah dari Jakarta, memang sulit mengusir si Komo ini. Sudah kadung jadi maskot dan dikontrak pemkot Jakarta kali ya. Kontrak eksklusif seumur hidup. Payahnya si Komo itu nggak bakalan mati, namanya juga boneka imajinasinya Kak Seto, yo everlastinglah. Ditambah lagi promosi pariwisata Jakarta yang menyebutkan Enjoy Jakarta, Jakarta wisata belanja. Duh Biyung, suruh enjoy kok di Jakarta, stress iya, enjoy nanti dulu, bagi yang berduit bisa enjoy, yang dhuafa enjoynya nanti saja ya kalau sudah kaya. Masalahnya yang bakalan kaya ya orang itu-itu saja, segolongan minoritas yang semakin hari semakin kaya dan serakah.

Jakarta, semoga cepat ada solusi yang membuatmu menjadi kota yang ramah, kota yang nyaman bagi pejalan kaki, kota dengan sejuta pohonnya dan tidak lagi menjadi 3 besar kota terpolusi di dunia (heran dech, kalau jelek-jelek Indonesia jagonya), kota bebas banjir dan memiliki transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau. Jakarta, semoga bebanmu semakin ringan. Cukup akulah yang menjadi urbanisator terakhir dan semoga si komo cepat pindah ke luar negeri. Si Komo, sudahlah, jangan jalan-jalan terus, bikin macet tahu!

Ada sabar di Busway


Ada sabar di Busway…
Naik Busway bagiku adalah alternative dengan risiko yang palinng kecil untuk transportasi di Jakarta. Selain terjangkau, nyaman karena ada AC, serta paling minimal macet karena punya jalur tersendiri. Busway menjadi pilihan seharihariku ketika berangkat ke kantor di daerah kuningan. Nggak ribet langsung masuk shelter langsung berangkat asalakan mau masuk di antrian berdiri. Cukup maksimal lima menit langsung berangkat. Dibandingkan kopaja dan metromini busway lebih manusiawi walaupun harus berdiri. Naik kopaja atau metromini rawan sekali diturunkan ditengah kalan dan dioper ke angkot lain, rentan terkena karat karena hampir full body bus sudah karatan, rentan rokok karena ada saja warga kota yang gemar merokok di tempat-tempat umum walaupun sudah dilarang, dasar bandel.
Pernah suatu hari aku naik kopaja dari blok M ke Ragunan, sudah jalannya kayak kebo, slow banget dan ditengah jalan dioper, belum sampai poolnya sudah disuruh turun dengan alasan nggak jelas dan nggak bertanggungjawab, akhirnya aku harus nyari angkot lain yang lama ngetemnya bisa untuk tidur karena saking lamanya, dan ternyata ketika jalan baru lima menit sudah nyampe departemen pertanian dekat ragunan, tahu gitu aku jalan kaki saja ya. Maklum, orang baru di Jakarta, masih belum hafal jalan. Yang seharusnya Cuma habis 2 ribu jadi habis 6 ribu, tahu gitu naik busway aja ya. Cuma 3,5 but pasti nyampainya. Dingin lagi, tambah pengalamanlah itung-itung.
Naik busway ternyata banyak pemandangannya, dikoridor 6 yang tiap hari aku lalui banyak pemandangan bening sepanjang jalan. Maklum, kawasan kuningan adalah kawasan bisnis jadi yang naik ya orang-orang kantoran yang seger-seger tiap harinya. Yang aku herankan, ternyata tingkat kesabaran warga Jakarta sangat tinggi. Rela ngantre di shelter dan jarang aku lihat yang nyerobot antrian dengan semena-mena. Sabar antri dan sabar menanti Busway berikutnya. Ketika antri tiketpun juga rapi, bisa juga ternyata orang Indonesia antri. Di daerah, paling susah orang disuruh antri, maunya nyerobot saja, antri dikit sudah ngomel nggak karuan, judul-judulnya berantem. Parah memang.
Memang ada hikmah dibalik kekurangan dalam sebuah sistem, semoga semua bisa diatasi dan dapat menjadi lebih baik dan semuanya menjadi lebih teratur. Harapanku dan harapan kita semua.

Kebon Binatang


Kebon Binatang Ragunan
Bon Bin biasanya aku menyingkat untuk istilah kebon binatang. Dalam pikiranku kalau Bon Bin adalah kumpulan binatang-binatang yang dikerangkeng dan didisplay untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Persepsiku Bon Bin pasti kumuh, bau dan sedikit gersang karena tidak terurus. Pengalamanku mengatakan ketika aku mengunjungi Bon Bin di Surabaya 15 Tahun yang lalu mengatakan seperti itu.
Ragunan adalah sebuah kebun binatang yang terletak di Jakarta Selatan. Persepsiku tentang Bon Bin seperti yang kurekam 15 tahun yang lalui ternyata berubah semenjak aku tinggal di kost samping Ragunan, dimana karena keseringan masuk ke Ragunan hingga aku jatuh cinta sama lokasi tersebut. Sejuk, rimbun, nyaman buat hang out dengan biaya yang murah menjadikan aku betah berlama-lama di Ragunan. Biasanya hari sabtu aku jadikan hari membaca sedunia versi Adi. So, tiap Sabtu pagi setelah melakukan Activity Daily life (Nyuci, setrika, lap-lap, ngepel, berisihin kamar mandi dll) aku beranjak ke Ragunan untuk sekedar mencari tempat yang nyaman buat membaca. Dengan mencari tempat yang nyaman aku bisa menghabiskan satu buku full.
Biasanya, aku mulai jalan terlebih dahulu sambil cuci mata mengelilingi Ragunan, kemudian berhenti untuk mencari posisi yang pas. Biasanya aku piilih lokasi yang agak nyempil dan jauh dari keramaian yang bisa mengganggu konsentrasiku. Yup, biasanya aku pilih lokasi dekat kandang siamang disamping pusat primata. Sepi, sejuk dan nggak ada polusi serta gangguan pedagang. Cuma kadang ada pasangan yang jalan sambil PDA (public Display Affection), bodo amat! Yang penting nggak mengganggu aku. Pernah suatu hari pas lagi asyik-asyiknya baca buku motivasi datang pasangan yang setengah tua lemu ginuk-ginuk atau disingkat setu legi, turut nimbrung di samping bangku yang sudah kupakai duluan. Busyet nih lansia, udah tahu bulan puasa nggak puasa and bikin PDA di depanku. Pheeww, karena ini bukan kawasan mbah saya makanya tak cuekin saja, cuek bebek is the best batinku. Sambil membaca kusetel lagu dari Hape berharap mereka cepat-cepat ngacir, eh ternyata bertahan hingga 5 jam. Malah aku sendiri yang akhirnya ngacir duluan (sudah lohor). Nasib…nasib..ada PDA lansia, batinku.
Ragunan selain memiliki hutan tropis buatan yang lumayan lebat, juga memiliki areal yang nyaman untuk olahraga dan bersantai bersama keluarga sambil potluck. Suatu saat pingin rasanya potluck bersama teman-teman, sambil bersantai dari rutinitas aktivitas kerja yang melelahkan di Jakarta. Sungguh aktivitas yang menyenangkan, apalagi kalau potlucknya dipinggir danau. Sayang belum kesampaian sampai sekarang.
Episode hidup alkesku akan selalu beririsan dengan episode ragunan ini, semoga selalu dalam sinergi dan bisa saling melengkapi. Episode ini memang belum ingin aku akhiri, karena aku menikmati sekali dan berharap apabila aku memasuki episode pernikahan nanti tidak akan jauh dengan episode-episode sebelumnya, sehingga akan menjadi rangkaian cerita yang menyenangkan buat aku bikin buku sejarah hidup kelak, persembahan untuk generasi yang akan aku tinggalkan. Semoga mimpiku menjadi nyata. Amien

Ragunan, Kost, 4 September 2010, 22:36