Si komo di Jakarta
Jakarta, sebuah kota metropolitan yang terbesar dan terpadat penduduknya di Indonesia. Sebuah artikel menyatakan bahwa jumlah penduduk Jabodetabek adalah setara dengan jumlah penduduk 4 negara yaitu Australia, Singapore, Brunai dan Timor Leste, dimana jumlah keempat penduduk 4 negara tersebut apabila dijumlah mencapai 26 Juta, sama dengan jumlah penduduk Jabodetabek.
Semrawut, amburadul, panas, polusi, bising, jarang air, macet, kriminal, gelandangan, kemiskinan, sampah dll adalah segudang persepsi yang aku bangun sebagai antisipasi agar aku tidak tinggal di Jakarta sekitar 3 tahun yang lalu. Males banget tinggal di Jakarta dengan segala kesemrawutannya, bikin stress. So, aku berjanji dalam hati untuk tidak tinggal di kota Jakarta setelah aku keluar dari SOS. Amit-amit dech batinku.
Ternyata, kini semua berubah. Aku jadi salah satu urbanisator yang turut membuat Jakarta tambah semarawut sepanjang masa. Fiuh, tekadku untuk menjauh dari Jakarta ternyata kandas, aku terdampar di Jakarta pula dalam episode alkes dan Ragunan ini. Ternyata upayaku mencari sebutir nasi membawaku sampai Jakarta pula. Memang sebuah cerita yang tidak terduga.
Dari sekian banyak persepsi negatifku, memang tidak semuanya benar tentang Jakarta. Kalau yang benar-benar nyata dan menyebalkan banget adalah karena si Komo yang gemar jalan-jalan di Jakarta hingga membuat macet di Jakarta. Ampun dech, kalau nggak macet nggak Jakarta namanya. Itu slogan warga Jakarta yang sudah resisten dengan macet karena sudah menjadi makanan sehari-hari. Bayangkan jam 6 pagipun yang idealnya jalanan sepi sudah macet di daerah mampang hingga kuningan. Yang lebih parah lagi, masak macet jam 11 malam di daerah kuningan. Kok masih ada makhluk-makhluk berkeliaran tengah malam yang membuat Jakarta masih macet (termasuk aku ding), seharusnya jam segitu mah sebagian orang sudah ngandang dan berlayar di pulau kapuk. Aneh ya, gimana tidak suntuk jam 11 malem, capek habis bukber di Mall of Indonesia Jakut sampai jam 11 malem jalanan macet. Hebat ya si Komo.
Mungkin pak Fauzi Wibowo juga turut andil bikin macet dengan slogannya Jakarta untuk semua yang awalnya berupaya menjegal lawan politiknya dengan cara mengedepankan keanekaragaman (soalnya PKS waktu itu homogen banget), karena Jakarta untuk semua makanya pada datang semua tuh semut-semut yang mencari gula di Jakarta. Coba kalau slogannya diganti Jakarta untuk betawi saja dan hanya untuk orang-orang yang KTPnya Jakarta asli, pasti Jakarta tidak sejenuh ini.
Sampai kapan si Komo akan pindah dari Jakarta, memang sulit mengusir si Komo ini. Sudah kadung jadi maskot dan dikontrak pemkot Jakarta kali ya. Kontrak eksklusif seumur hidup. Payahnya si Komo itu nggak bakalan mati, namanya juga boneka imajinasinya Kak Seto, yo everlastinglah. Ditambah lagi promosi pariwisata Jakarta yang menyebutkan Enjoy Jakarta, Jakarta wisata belanja. Duh Biyung, suruh enjoy kok di Jakarta, stress iya, enjoy nanti dulu, bagi yang berduit bisa enjoy, yang dhuafa enjoynya nanti saja ya kalau sudah kaya. Masalahnya yang bakalan kaya ya orang itu-itu saja, segolongan minoritas yang semakin hari semakin kaya dan serakah.
Jakarta, semoga cepat ada solusi yang membuatmu menjadi kota yang ramah, kota yang nyaman bagi pejalan kaki, kota dengan sejuta pohonnya dan tidak lagi menjadi 3 besar kota terpolusi di dunia (heran dech, kalau jelek-jelek Indonesia jagonya), kota bebas banjir dan memiliki transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau. Jakarta, semoga bebanmu semakin ringan. Cukup akulah yang menjadi urbanisator terakhir dan semoga si komo cepat pindah ke luar negeri. Si Komo, sudahlah, jangan jalan-jalan terus, bikin macet tahu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar