Smartly Chlothes
Aku selalu mendefinisikan diriku dengan orang yang kasual, santai dan tidak suka dengan yang namanya sesuatu yang berbau resmi. Nggak tahu kenapa, mungkin dari postur tubuhku yang segede kulkas sehingga risih kalau memakai baju yang formal apalagi berdasi. Dalam sebuah acara kegiatan mahasiswa tingkat nasionalpun cuma aku sendiri yang bela-belain pakai kaos tanpa kerah di dalam jas almamater. Nampak nggak sopan dan terkesan kampungan. Pas mahasiswa koleksi kemejaku Cuma 3 biji, itupun handmade alias jahit sendiri (maksudnya dijahit oleh penjahit) bukan beli jadi. Dengan badanku yang overweight banget pas mahasiswa membuat aku lebih nyaman kalau pakai celana kain yang kolor serta kaos oblong sama sandal sepatu. Aku paling males pakai yang namanya kemeja, kesannya gerah, sumpek, dan nggak bisa bebas apalagi pakai sepatu.
Kalau disuruh milih, aku paling ogah kalau pakai smartly chlotes, pernah pas ikut National Training Ledhership dan Entrepeunership (NTLE) di Brawijaya Malang sama panitianya dipaksa menggunakan smartly chlotes. Waduh rek, seumur-umur aku enggak pernah makai dasi. Kecuali dasi pada waktu SD doang. Berkelit aku ngotot kalau aku nggak punya dasi. Panitianya tetap memaksa kalau itu aturan dan mereka akan meminjamkan 2 biji (dua2nya untuk delegasi dari Undip yang terkenal agak males dandan). Ya sutralah, sudah bayar mahal dan jauh-jauh, ikut aturan aja toh 4 hari doang. Nggak enak juga sama peserta yang lain, masak yang lain necis-necis kita sendiri yang Nampak nglomprot.
Perilaku kekasualanku memang sungguh-sungguh di luar batas. Di kampus aku hampir jarang Nampak rapi, tampak semrawutlah. Uang kirimanku lebih banyak untuk makan sama beli buku. Untuk urusan baju, males aku. Nyadar kali kalau pakai baju bagus juga tidak nambah gantengnya. Pokoknya kuliah jauh dari kesan modis, Nampak kasual abis. Sampai konsul skripsipun aku cuma pakai celana kolor, kaos kerah dan pakai jaket untuk menyamarkan lekukan tubuh di sana dan disini. Wis pokoke amburadul. Pas KKN pun aku Nampak banget kayak buntelan kentut, rekor sampai 100 kg lebih. Masya Allah, persis kayak kulkas dua pintu. Konsekuensinya badan terasa berat dan gerah, so makin males pakai kemeja, kaos ajalah.
Moment-moment yang bersejarah saja yang mampu memaksa aku memakai kemeja dan celana bahan serta sepatu pantofel plus dasi. Pakai dasi sampai aku lulus mahasiswa bisa aku hitung momentnya, waktu SD, waktu ikut paduan suara di SMP, waktu NTLE, Waktu wisuda akdemik dan terakhir wisuda profesi. Selebihnya kayaknya nggak ada moment lagi. Skripsipun aku nggak pakai dasi, Cuma pakai kemeja, itupun karena aturan. Kalau nggak ada aturan, mungkin pakai kaos lagi ya. Dasar Bengal.
Istilah smartly chlotes aku tahu dari Miss Anna my English teacher di KIPPI, pada waktu itu dia mengomentari penampilan penampilan peserta. Dari 6 cowok, Cuma aku yang penampilannya tidak layak bagi seorang peserta pelatihan. Yang lain mendekati smartly dan bersepatu, aku masih kebawa budaya mahasiswa yang kasual walaupun itu sudah lulus. Pada waktu itu kalau ada mahasiswa yang pakaiannya smartly aku biasanya batin,”amit-amit deh, kuliah aja kok kayak mau melamar kerja ribet banget. Pas ada teman dekatku yang insyaf, berubah haluan dari casual menjai smartly di akhir-akhir kuliah (nggak tahu setan mana yang nyambet) sering aku isengi dengan kutarik-tarik bajunya hingga keluar dari celana. Aneh saja, yang biasanya casual jadi smartly, terus celana sama kemejanya yang udah jadul gitu, rasanya pingin narik keluar baju yang dimasukin ke celana. Maaf ya pren.
Pas ketika kerjapun aku paling males pakai namaya kemeja, but gimana algi. Untung di tempat kerja bajunya nggak dimasukkan ke celana. So, masih mendinglah daripada dimasukkan dengan kerja yang harus dorong sana dan dorong sini. Gerah banget. Dan baju kerja yang paling nyaman adalah ketika aku kerja di RS di daerah Tangerang, dimana bajunya mirip piyama buat tidur, kolor dan bahannya katun. Dengan kerja di tempat AC Nampak nyaman dan kalau malam tinggal bablas kalau mau tidur (soalnya bajunya kayak baju tidur). Dengan baju yang longgar dan nyaman, kerja jadi gesit lari sana lari sini, dorong sana dan dorong sini, genjot sana genjot sini (CPR maksudnya). Sipplah.
Aku sempat kebakaran jenggot pas aku diterima di tempat kerja yang baru, dimana pakainnya gaya eksekutif muda yang smartly habis, dimana syarat penampilan adalah nomor wahid. Pheew…hitung punya hitung selidik punya selidik aku Cuma punya 1 celana kain, dan 2 potong kemeja lengan panjang dan sepatu pantofel yang aku beli 5 tahun yang lalu, bisa bayangin leceknya tuh sepatu. Sempat stress dulu nyari baju, untung badanku sudah mulai kempis (kalau gendut banget nggak keterima kali ya di tempat kerjaku yang baru, untung aku diet). Akhirnya dengan membobol celengan mulai deh belanja baju smartly di swalayan, pas belanja bingung banget soale nggak biasa pakai baju smartly, sampai perlu bawa temen buat nyakinin aku kalau aku pantes. Nggak pede soale. Sebulan di tempat kerja baru kerjaanku mengamati temen-temen cara pakai dasi, cara matchingin warna, sampai browsing diinternet bela-belain biar kagak norak. Susah juga ya jadi pegawai kantoran, punya baju ijo dasinya nggak matcing, baju item cari dasinya susah, punya dasi coklat but nggak ada bajunya. Duh, mau tampil aja modalnya selangit. Untung kerja di tempat AC, dingin jadi nggak keringetan.
Selamat datang di dunia smartly, lama-lama nyaman juga walaupun tiap hari naik turun dan antri di Busway. Paling suka kalau pas hari Jumat, pakai batik. Nampak nyantai, dan Indonesia banget gitu. Semoga ada kebijakan yang patriotik yang mengharuskan tiap hari pakai batik, tentu langsung tak bela-belain hunting batik di Solo yang bagus dan tentu saja murah. Walaupun aku tiap kerja Nampak smartly, but sehari-hari tetap casual, kaos celana ¾ sama topi plus tas ransel. Itulah cirri penampilanku. Nggak penting merk baju yang penting aku nyaman dan nggak norak-norak banget. Yup!
Aku selalu mendefinisikan diriku dengan orang yang kasual, santai dan tidak suka dengan yang namanya sesuatu yang berbau resmi. Nggak tahu kenapa, mungkin dari postur tubuhku yang segede kulkas sehingga risih kalau memakai baju yang formal apalagi berdasi. Dalam sebuah acara kegiatan mahasiswa tingkat nasionalpun cuma aku sendiri yang bela-belain pakai kaos tanpa kerah di dalam jas almamater. Nampak nggak sopan dan terkesan kampungan. Pas mahasiswa koleksi kemejaku Cuma 3 biji, itupun handmade alias jahit sendiri (maksudnya dijahit oleh penjahit) bukan beli jadi. Dengan badanku yang overweight banget pas mahasiswa membuat aku lebih nyaman kalau pakai celana kain yang kolor serta kaos oblong sama sandal sepatu. Aku paling males pakai yang namanya kemeja, kesannya gerah, sumpek, dan nggak bisa bebas apalagi pakai sepatu.
Kalau disuruh milih, aku paling ogah kalau pakai smartly chlotes, pernah pas ikut National Training Ledhership dan Entrepeunership (NTLE) di Brawijaya Malang sama panitianya dipaksa menggunakan smartly chlotes. Waduh rek, seumur-umur aku enggak pernah makai dasi. Kecuali dasi pada waktu SD doang. Berkelit aku ngotot kalau aku nggak punya dasi. Panitianya tetap memaksa kalau itu aturan dan mereka akan meminjamkan 2 biji (dua2nya untuk delegasi dari Undip yang terkenal agak males dandan). Ya sutralah, sudah bayar mahal dan jauh-jauh, ikut aturan aja toh 4 hari doang. Nggak enak juga sama peserta yang lain, masak yang lain necis-necis kita sendiri yang Nampak nglomprot.
Perilaku kekasualanku memang sungguh-sungguh di luar batas. Di kampus aku hampir jarang Nampak rapi, tampak semrawutlah. Uang kirimanku lebih banyak untuk makan sama beli buku. Untuk urusan baju, males aku. Nyadar kali kalau pakai baju bagus juga tidak nambah gantengnya. Pokoknya kuliah jauh dari kesan modis, Nampak kasual abis. Sampai konsul skripsipun aku cuma pakai celana kolor, kaos kerah dan pakai jaket untuk menyamarkan lekukan tubuh di sana dan disini. Wis pokoke amburadul. Pas KKN pun aku Nampak banget kayak buntelan kentut, rekor sampai 100 kg lebih. Masya Allah, persis kayak kulkas dua pintu. Konsekuensinya badan terasa berat dan gerah, so makin males pakai kemeja, kaos ajalah.
Moment-moment yang bersejarah saja yang mampu memaksa aku memakai kemeja dan celana bahan serta sepatu pantofel plus dasi. Pakai dasi sampai aku lulus mahasiswa bisa aku hitung momentnya, waktu SD, waktu ikut paduan suara di SMP, waktu NTLE, Waktu wisuda akdemik dan terakhir wisuda profesi. Selebihnya kayaknya nggak ada moment lagi. Skripsipun aku nggak pakai dasi, Cuma pakai kemeja, itupun karena aturan. Kalau nggak ada aturan, mungkin pakai kaos lagi ya. Dasar Bengal.
Istilah smartly chlotes aku tahu dari Miss Anna my English teacher di KIPPI, pada waktu itu dia mengomentari penampilan penampilan peserta. Dari 6 cowok, Cuma aku yang penampilannya tidak layak bagi seorang peserta pelatihan. Yang lain mendekati smartly dan bersepatu, aku masih kebawa budaya mahasiswa yang kasual walaupun itu sudah lulus. Pada waktu itu kalau ada mahasiswa yang pakaiannya smartly aku biasanya batin,”amit-amit deh, kuliah aja kok kayak mau melamar kerja ribet banget. Pas ada teman dekatku yang insyaf, berubah haluan dari casual menjai smartly di akhir-akhir kuliah (nggak tahu setan mana yang nyambet) sering aku isengi dengan kutarik-tarik bajunya hingga keluar dari celana. Aneh saja, yang biasanya casual jadi smartly, terus celana sama kemejanya yang udah jadul gitu, rasanya pingin narik keluar baju yang dimasukin ke celana. Maaf ya pren.
Pas ketika kerjapun aku paling males pakai namaya kemeja, but gimana algi. Untung di tempat kerja bajunya nggak dimasukkan ke celana. So, masih mendinglah daripada dimasukkan dengan kerja yang harus dorong sana dan dorong sini. Gerah banget. Dan baju kerja yang paling nyaman adalah ketika aku kerja di RS di daerah Tangerang, dimana bajunya mirip piyama buat tidur, kolor dan bahannya katun. Dengan kerja di tempat AC Nampak nyaman dan kalau malam tinggal bablas kalau mau tidur (soalnya bajunya kayak baju tidur). Dengan baju yang longgar dan nyaman, kerja jadi gesit lari sana lari sini, dorong sana dan dorong sini, genjot sana genjot sini (CPR maksudnya). Sipplah.
Aku sempat kebakaran jenggot pas aku diterima di tempat kerja yang baru, dimana pakainnya gaya eksekutif muda yang smartly habis, dimana syarat penampilan adalah nomor wahid. Pheew…hitung punya hitung selidik punya selidik aku Cuma punya 1 celana kain, dan 2 potong kemeja lengan panjang dan sepatu pantofel yang aku beli 5 tahun yang lalu, bisa bayangin leceknya tuh sepatu. Sempat stress dulu nyari baju, untung badanku sudah mulai kempis (kalau gendut banget nggak keterima kali ya di tempat kerjaku yang baru, untung aku diet). Akhirnya dengan membobol celengan mulai deh belanja baju smartly di swalayan, pas belanja bingung banget soale nggak biasa pakai baju smartly, sampai perlu bawa temen buat nyakinin aku kalau aku pantes. Nggak pede soale. Sebulan di tempat kerja baru kerjaanku mengamati temen-temen cara pakai dasi, cara matchingin warna, sampai browsing diinternet bela-belain biar kagak norak. Susah juga ya jadi pegawai kantoran, punya baju ijo dasinya nggak matcing, baju item cari dasinya susah, punya dasi coklat but nggak ada bajunya. Duh, mau tampil aja modalnya selangit. Untung kerja di tempat AC, dingin jadi nggak keringetan.
Selamat datang di dunia smartly, lama-lama nyaman juga walaupun tiap hari naik turun dan antri di Busway. Paling suka kalau pas hari Jumat, pakai batik. Nampak nyantai, dan Indonesia banget gitu. Semoga ada kebijakan yang patriotik yang mengharuskan tiap hari pakai batik, tentu langsung tak bela-belain hunting batik di Solo yang bagus dan tentu saja murah. Walaupun aku tiap kerja Nampak smartly, but sehari-hari tetap casual, kaos celana ¾ sama topi plus tas ransel. Itulah cirri penampilanku. Nggak penting merk baju yang penting aku nyaman dan nggak norak-norak banget. Yup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar