Kamis, 30 September 2010

Kaki lima


Aku memang terlahir sebagai anak desa, lahir dan dibesarkan di sebuah desa di kaki gunung Lawu di perbatasan Jatim dan Jateng. Sejak SD hingga SMP aku mengenyam pendidikan di kecamatan, pada waktu SMA baru aku sekolah di Kabupaten. Sebagai anak desa aku senantiasa dikenalkan dengan namanya konsep kesederhanaan. Bapakku selalu memberi teladan tentang kesederhanaan yang begitu sangat beliau pegang dan juga di tanamkan dalam keluarga. Misalnya, Bapak tidak pernah mengajari anaknya untuk makan di restoran-restoran mewah ketika bepergian, walaupun sebenarnya Bapak mampu untuk membayar harga makanan tersebut. Oleh karena itu aku sangat terbiasa makan yang di kaki lima, warung-warung kecil di pinggir jalan, warung-warung tenda dan sejenisnya. Hingga dulu pernah aku dan Ibu berkompromi untuk menyindir Bapak ketika hendak makan dalam perjalanan ke Malang kampung halaman Bapak. Pasti deh kaki lima, dan ternyata memang benar. Bapak Cuma tersenyum ,kaki lima juga enak kok. Asalkan pas milihnya, kata Bapak kala itu, yah kaki lima lagi.
Ajaran Bapak yang selalu mengajak kami anak-anaknya untuk tidak bermewah-mewahan menjadikan aku terbiasa makan di kaki lima. Buat aku, kaki lima bukannya tidak enak, akan tetapi menawarkan sajian yang sederhana, murah dan sangat familiar di lidah. Sekelas warteg dan warsun juga. Satu hal yang memang agak susah diprediksi adalah kebersihannya. Memang itulah yang menjadi masalah utama dalam sebuah warung makan sekelas warteg, warsun, kaki lima, lesehan, warung padang dsb. Menyantap hidangan rumahan buat aku memang terasa nikmat apalagi tersedia aneka sayur dan lauk pauk yang terbuat dari kedelai. Ibuku sangat mengerti seleraku ketika aku balik kampung. Sayur adalah salah satu makanan yang sangat kusuka, disamping telur dadar, tahu, tempe, udang. Makanan tersebut sangat pas komposisinya dalam sebuah hidangan, apalagi ditambah dengan kecap manis dan kerupuk. Dan aku tidak begitu suka sambel, kecuali sambel tumpang, sambel kacang dan sambel bajak.
Dalam memilih makanan, aku memang tidak begitu pemilih. Kaki lima, kucingan/angkringan, warung sunda, adalah tempat makan favoritku sampai kini. Kota yang menyajikan wisata kuliner yang pas dengan selera lidah dan kantongku adalah kota Solo. Nggak tahu kenapa, aku merasa solo menyajikan banyak makanan yang murah, enak, dan lumayan bergizi. Sehingga, ketika di Solo aku tidak segan-segan mampir dari satu angkringan ke angkringan yang lain. Yang biasa aku cari adalah gorengan. Gorengan tempe di Solo terasa paling lezat apalagi ditambah es teh tawar. Puas makannya dan murah harganya.
Sebagian temanku menganggap seleraku kampungan dan tidak higienis. Dan aku lagi-lagi tidak perduli, karena aku kembali pada prinsip bahwa selera tidak dapat diperdebatkan. Bagiku gorengan mendoan adalah sepuluh kali lebih nikmat dari namanya kepiting. Karena sampai saat ini aku belum bisa menemukan titik kenikmatan kepiting. Bagiku kepiting sangat biasa saja, kembali lagi sih pada selera. Seleraku kini dan nanti memang tidak akan berubah sedikitpun, mengingat aku sudah bertahan dengan seleraku seperti ini dalam kurun waktu 10 tahunan, so sudah mendarah daging. Seiring bertambah usia mungkin aku harus mengurangi yang namanya goreng-gorengan, risiko tinggi kolesterol. Untuk 3 tahun ke depan mungkin aku masih excuse. Semoga tidak ada masalah dengan kolesterolku, ya semoga….

Tidak ada komentar: